Menakar Ambiguisitas Program Pencegahan Tindakan Korupsi dan Transparansi: Menguji Komitmen dan Kejujuran Paslon
Isu korupsi memang muncul pada saat debat pertama yang dilakukan oleh Joko Widodo - Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno. Saat sesi debat pertama, ada momentum di mana Jokowi menyerang Prabowo melalui isu pencegahan tindakan korupsi dan menguhubungkannya dengan banyaknya calon anggota legislatif yang berasal dari partai Gerindra yang dipimpin Prabowo dan telah diloloskan oleh Prabowo sendiri.
Meski Jokowi menyerang Prabowo dengan pernyataan tersebut, nyatanya dalam pratiknya para partai pendukung Jokowi tetap memasukan para calon anggota legislatif yang merupakan para para mantan koruptor. Jika diakumulasikan, jumlah calon anggota legislatif mantan napi korupsi sama-sama besar di kedua kubu. Mantan napi korupsi yang maju mencalonkan diri dalam pemilu ada pada kedua paslon.
Prabowo pernah menyatakan bahwa jika kadernya melakukan korupsi, ia sendiri yang akan memenjarakan mereka. Bahkan, ia juga menyatakan bahwa ia tidak akan mengizinkan para koruptor berada di Indonesia.
Sebelumnya, KPU memang sempat mengeluarkan peraturan yang mengatur agar mantan napi korupsi tidak boleh mengikuti proses pemilu. Namun, aturan ini rupaya ditentang oleh para mantan napi korupsi, karena dianggap menghalangi hak mereka. Uji materi atas Pasal 4 ayat 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang dianggap bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2107 tentang pemilu pun mereka lakukan. Mahkamah Agung pada akhirnya memenangkan judicial review yang mereka lakukan. Bola panas pembahasan PKPU ini sempat membara dan bergulir cukup panas.
Secara kemanusiaan, para mantan koruptor memang memiliki hak untuk dipilih, akan tetapi ada satu sisi yang kita lupakan bahwa perbuatannya yang melakukan korupsi adalah bentuk dari sikapnya yang tidak memiliki rasa keprihatinan dan bahkan telah hilang sisi kemanusiaannya. Jika aspek hak dipilih dihilangkan, maka itu akan sangat setimpal dengan apa yang sudah ia perbuat. Hukuman penjara, tidak serta merta menghilangkan dampak yang sudah terlanjur membekas pada masyarakat. Uang hasil korupsi bisa saja dikembalikan, karena uang itu telah berputar dan bertambah banyak, meski digunakan untuk membayar denda dan mengembalikan sesuai dengan jumlah yang ia korupsi, ditangannya masih ada sisa uang yang bisa ia gunakan. Tapi, para mantan koruptor rupanya lupa, bahwa perbuatan mereka telah melukai dan menyengsarakan masyarakat. Setimpalkah penderitaan, kesusahan, hingga kelaparan yang dirasakan oleh masyarakat dengan hukuman yang Anda rasakan, sehingga Anda masih merasa memiliki hak untuk kembali dipilih sebagai seorang pemimpin?
Meski Jokowi menyerang Prabowo dengan pernyataan tersebut, nyatanya dalam pratiknya para partai pendukung Jokowi tetap memasukan para calon anggota legislatif yang merupakan para para mantan koruptor. Jika diakumulasikan, jumlah calon anggota legislatif mantan napi korupsi sama-sama besar di kedua kubu. Mantan napi korupsi yang maju mencalonkan diri dalam pemilu ada pada kedua paslon.
Prabowo pernah menyatakan bahwa jika kadernya melakukan korupsi, ia sendiri yang akan memenjarakan mereka. Bahkan, ia juga menyatakan bahwa ia tidak akan mengizinkan para koruptor berada di Indonesia.
Sebelumnya, KPU memang sempat mengeluarkan peraturan yang mengatur agar mantan napi korupsi tidak boleh mengikuti proses pemilu. Namun, aturan ini rupaya ditentang oleh para mantan napi korupsi, karena dianggap menghalangi hak mereka. Uji materi atas Pasal 4 ayat 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang dianggap bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2107 tentang pemilu pun mereka lakukan. Mahkamah Agung pada akhirnya memenangkan judicial review yang mereka lakukan. Bola panas pembahasan PKPU ini sempat membara dan bergulir cukup panas.
Secara kemanusiaan, para mantan koruptor memang memiliki hak untuk dipilih, akan tetapi ada satu sisi yang kita lupakan bahwa perbuatannya yang melakukan korupsi adalah bentuk dari sikapnya yang tidak memiliki rasa keprihatinan dan bahkan telah hilang sisi kemanusiaannya. Jika aspek hak dipilih dihilangkan, maka itu akan sangat setimpal dengan apa yang sudah ia perbuat. Hukuman penjara, tidak serta merta menghilangkan dampak yang sudah terlanjur membekas pada masyarakat. Uang hasil korupsi bisa saja dikembalikan, karena uang itu telah berputar dan bertambah banyak, meski digunakan untuk membayar denda dan mengembalikan sesuai dengan jumlah yang ia korupsi, ditangannya masih ada sisa uang yang bisa ia gunakan. Tapi, para mantan koruptor rupanya lupa, bahwa perbuatan mereka telah melukai dan menyengsarakan masyarakat. Setimpalkah penderitaan, kesusahan, hingga kelaparan yang dirasakan oleh masyarakat dengan hukuman yang Anda rasakan, sehingga Anda masih merasa memiliki hak untuk kembali dipilih sebagai seorang pemimpin?
Meski isu pemberantasan korupsi terus dilantangkan oleh
kedua calon, masyarakat sendiri merasa pesimis, karena para mantan koruptor itu
tetap berada di balik baju partai dan lingkungan dari masing-masing calon.
Selain masih ambigunya sikap dan program para calon terakit isu korupsi, ada masalah lain yang mungkin dianggap sepele, tapi memiliki dampak yang besar yaitu ' dana kampanye'. Dana kampanye sangat menentukan pergerakan para calon dalam mengsosialisasikan diri dan program yang ingin dilakukannya. Dana kampanye ini akan mampu menggerakan roda partai mulai dari tingkat anak ranting hingga pusat. Melihat dari pentingnya dampak yang dapat ditimbulkan dari dana kampanye, maka perlu dilakukan pengawasan dan audit yang dilakukan secara transparan.
Kejelasan mengenai asal-usul dana yang sumbernya sudah pasti harus jelas. Kemudian penggunannya untuk apa saja dan berapa biaya yang dikeluarkan. Dengan audit dan pengawasan yang ketat, maka money politic sebenarnya bisa dicegah, karena penggunaan dana kampanye .
Sumbangan-sumbangan yang diperoleh juga harus jelas pemberi dan tujuannya dan penggunaannya. Cukup melalui satu pintu, kegiatan selama pemilu dibiayai dari dana kampanye, maka kirasan jumlahnya harus sesuai.
Selain masih ambigunya sikap dan program para calon terakit isu korupsi, ada masalah lain yang mungkin dianggap sepele, tapi memiliki dampak yang besar yaitu ' dana kampanye'. Dana kampanye sangat menentukan pergerakan para calon dalam mengsosialisasikan diri dan program yang ingin dilakukannya. Dana kampanye ini akan mampu menggerakan roda partai mulai dari tingkat anak ranting hingga pusat. Melihat dari pentingnya dampak yang dapat ditimbulkan dari dana kampanye, maka perlu dilakukan pengawasan dan audit yang dilakukan secara transparan.
Kejelasan mengenai asal-usul dana yang sumbernya sudah pasti harus jelas. Kemudian penggunannya untuk apa saja dan berapa biaya yang dikeluarkan. Dengan audit dan pengawasan yang ketat, maka money politic sebenarnya bisa dicegah, karena penggunaan dana kampanye .
Sumbangan-sumbangan yang diperoleh juga harus jelas pemberi dan tujuannya dan penggunaannya. Cukup melalui satu pintu, kegiatan selama pemilu dibiayai dari dana kampanye, maka kirasan jumlahnya harus sesuai.
Tidak dapat dipungkiri, sumber dana kampanye yang diperoleh para calon baik secara pribadi ataupun partai bisa jadi juga berasal dari para caleg dan termasuk para calon anggota legislatif yang mantan napi koruptor yang juga akan menggerakan roda mesin
partai.
Selain menggunakan media elekotronik, ada satu aspek yang mungkin luput yaitu penggunaan biaya beriklan di media sosial. Baik berupa promosi atau juga pengerahan buzzer demi melawan hoaks yang ada di media sosial dan iklan untuk menunjukkan eksistensi visi -misi dan program masing-masing paslon. Dana kampanye yang dilaporkan para paslon dan partai politik tidak banyak transparan, dan cenderung basa-basi sebagaimana digambarkan dalam analisis berikut ini: http://www.iklancapres.id/analisis/read/33/dana-kampanye-yang-masih-basa-basi.html
Basa-basi karena laporan dana kampanye hanya dibuat ala kadarnya tanpa mencantumkan jumlah dana yang jelas dan realistis untuk digunakan saat pemilu. Dana kampanye yang dilaporkan oleh masing-masing calon justru tidak memasukan ongkos beriklan di media sosial. Padahal, jika kita lihat pergerakan kampanye di media sosial juga sangatlah masif. Tim Sukses dari masing-masing calon sudah seharusnya melaporkan ongkos beriklan di media sosial agar bisa lebih transparan lagi berapa biaya yang diperlukan dan dikeluarkan. Lihat analisisnya dalam artikel berikut ini: http://www.iklancapres.id/analisis/read/28/icw-ongkos-beriklan-di-medsos-kampanye-tidak-pernah-dilaporkan.html
Data yang selama ini, justru tidak ada laporan yang pasti ongkos biaya iklan yang dilakukan di media sosial, padahal, jika kita milihat data maka akan tampak sekali bahwa kampanye masing-masing calon juga sangat masif di media sosial. Setidaknya ada empat media sosial yang banyak memunculkan kontek kampanye para calon yaitu Facebook, Twitter, Youtube dan Instagram. Jumlahnya untuk Jokowi - Ma'ruf Amin dari keempat media sosial itu kemunculannya mencapai 452 kali. Sedangkan untuk Prabowo - Sandi, dari keempat media sosial itu kemunculannya mencapai 547 kali. Lihat data berikut ini yang menunjukkan grafik dan presentasi kampanye masing-masing calon di media sosial sangatlah besar.: http://www.iklancapres.id/iklan/socmed
Transparansi dana kampanye termasuk ongkos iklan di media memang perlu dilakukan. Agar rakyat juga tahu dengan jelas, dana itu berasal dan digunakan untuk keperluan apa saja. Jangan sampai, dana yang dilaporkan terlihat kecil, tapi dalam praktiknya, justru ongkos kampanyenya melebihi dana yang dilaporkan.
Komentar
Posting Komentar