Langsung ke konten utama

Sastra dan Imajinasi Dunia Pesantren: Sebuah Kebangkitan Sastra ala Santri


Manusia memang pantas disebut sebagai makhluk yang sempurna yang telah Allah anugerahi dengan berbagai macam kelebihan dan potensi yang luar biasa. Salah satu anugerah itu, di antaranya adalah adanya imajinasi yang Allah SWT berikan kepada manusia sebagai hamba-Nya. Daya imajinasi, pasti dimiliki oleh setiap manusia, karena ia merupakan sebuah keniscayaan yang pasti dimiliki manusia.

Walaupun pada tataran praktiknya, berbeda-beda dalam mengaktualisasikan imajinasi yang dimiliki. Terkadang, kita sering membahasakan imajinasi  dengan kata “khayalan” atau “mimpi”. Akan tetapi, sebetulnya imajinasi adalah pondasi awal sebelum lahirnya khayalan dan mimpi. Karena, imajinasi merupakan potensi  atau kemampuan yang menjadi wadah dan titik awal dari khayalan dan impian manusia. Pada ranah praktiknya, tinggal bagaimana manusia itu sendiri yang mampu menyadari dan mengoptimalkan potensi itu.
Dari imajinasi inilah kemudian manusia mampu berkhayal tinggi dan mengungkapkan kata-kata indah berupa syair atau puisi. Bahkan, berangkat dari daya imajinasi,, seseorang dapat mengarang cerita baik itu berupa kisah yang romantis, horor, patriot, sedih dan lain sebagainya tergantung kemampuannya dalam berimajinasi. Sastra, adalah sebuah produk budaya yang selalu eksis sepanjang sejarah umat manusia. Hal tersebut disebabkan karena kreatifitas dan daya imajinasi yang kuat dari manusia itu sendiri yang terus mengalami perkembangan.
Pesantren, yang diidentikan sebagai lembaga yang fokus dalam mencetak para Ulama dengan menggunakan pengajaran terhadap kitab-kitab salaf dan pengetahuan agama Islam begitu banyak di Indonesia. Keberadaannya bahkan telah ada sebelum kemerdekaan Bangsa Indonesia. Pesantren bukan hanya mencetak para Ulama, akan tetapi banyak alumni Pesantren dengan berbagai profesinya seperti Dokter, Pengajar, Pegawai, Pembisnis bahkan Pejabat.
Selain memperdalam pengetahuan agama, banyak para santri yang juga berpotensi menjadi seorang Sastrawan. Karena kelihaian santri bukan hanya pandai dalam membaca kitab berbahasa Arab yang “gundul”, tapi juga kepandaian mereka dalam merangkai kata-kata ketika menuliskan surat cinta misalnya. Kemampuan itu, adalah bagian dari potensi sastrawi para santri yang dapat dikembangkan dengan menulis puisi, membuat cerpen, atau menuliskan surat-surat cinta yang biasanya sangat puitis dan penuh nilai sastra.
Jika dikatakan bahwa sastra Pesantren tidak bangkit dalam artian mati, menurut penulis anggapan atau pandangan itu tidaklah tepat. Karena, pada hakikatnya sastra Pesantren telah ada sejak lama dan terus berkembang meski terlihat seperti gerakan bawah tanah karena eksistensinya yang kurang dikenal masyarakat.
Kurang eksisnya sastra Pesantren disebabkan karena karya-karya sastra Pesantren kurang diminati masyarakat umum, dan penulisnya yang mayoritas berstatus sebagai santri dan sebagian lainnya yang merupakan alumni Pesantren, kalah bersaing dengan Sastrawan-sastrawan lainnya.
Kita mengenal tokoh sastra kraton yang berasal dari dunia Pesantren seperti Ronggowarsito, Yasadipura I dan Yasadipura II. Pada era modern, ada  KH. A. Mustofa Bisri yang akrab disapa Gus Mus, dan Habiburrahman El-Shirazy atau Kang Abik. Tokoh-tokoh tersebut barulah sebagian kecil, dari banyaknya Sastrawan lain yang belum terkenal dan tidak mendapatkan panggung di tingkat Nasional. Hal itu adakalanya karena kebiasaan para Sastrawan yang menggunakan nama pena, sehingga membuat orang jarang mengenal nama asli Sastrawan tersebut.
Bukan hanya di lingkungan Pesantren, sastra bahkan sudah tidak asing lagi bagi para ulama dari sejak dahulu hingga sekarang. Karena kita tahu bahwa sastra turut mewarnai khazanah keislaman. Banyak ulama yang konsisten dengan sastra, bahkan melahirkan penemuan dan karya yang berhubungan dengan sastra. Baik itu dalam bentuk cerita, maupun prosa. Misalnya, kita pasti ingat kisah seribu satu malam yang menceritakan kisah cinta Qais dan Laila, kisah Ibn Tufail dan masih banyak lagi. Ulama juga menggunakan syair-syair sebagai sarana untuk seperti Nadzom al-Fiyah karya Ibn Malik dan Nadzom Imrithi yang pasti dibaca bahkan mungkin dihafal oleh para santri, Nadzom Aqidat al-Awwam, Nadzom Burdah, Diba, Simtudurar dan al-Barzanji yang tidak asing di lingkungan masyarakat dan dunia Pesantren.
Dalam sejarahnya tradisi kesusastraan yang muncul dan dipelihara Pesantren ditulis menggunakan huruf Arab Pegon, dengan beragam bahasa Nusantara. Kandungannya bermacam-macam, mulai dari cerita roman, sejarah, dan realitas sosial, hingga cerita-cerita yang dipenuhi tema-tema moralitas dan kepahlawanan. Meski beragam, tapi mengandung atau melukiskan kenyataan sosial, bahkan terkesan realis, yang melibatkan tingkah laku, norma, atau nilai-nilai sosial kehidupan bermasyarakat dan berbudaya pada umumnya. Tampilnya Pesantren sebagai tempat persemaian tradisi kesusastraan, menunjukkan bahwa Pesantren bukan hanya tempat belajar, tapi juga lembaga kehidupan dan kebudayaan. Pada abad ke-17 dan ke-18, Pesantren menjadi tempat para pujangga dan sastrawan menghasilkan karya-karya sastra.[i]
Diakui atau tidak, sastra Pesantren memiliki tempat tersendiri di hati para penikmat sastra. Karena keunikan dan kekhasan yang melekat pada sastra Pesantren yang memiliki pesan-pesan yang biasanya bernafaskan jiwa Pesantren atau nilai-nilai Islami. Dalam dinamika sejarah perkembangannya, sastra Pesantren telah banyak memberikan sumbangsih dalam kancah sastra di Indonesia maupun Nusantara.
Keunikan itu antara lain misalnya dengan adanya sastra tasawuf[ii] yang cukup dikenal dalam dunia Pesantren. Sehingga dalam perkembangan zaman sastra Pesantren ada yang termasuk sastra tasawuf yang dipelajari oleh para pengikut tarekat dan sastra bebas yang digulati oleh para santri pada akhir-akhir ini .[iii]
Sastra Pesantren dapat menunjukkan fungsi sosial. mengintegrasikan tradisi ke-syuyukhiyahan (jejer pandita) sebagai bagian penting dari lakon dalam karya-karya sastra klasik, mengungkapkan diri dalam karya-karya etnografis-kesejarahan atau kisah-kisah perjalanan yang merekam tradisi-tradisi masyarakat setempat dalam bentuk sastra. orang Pesantren. Sastra Pesantren juga berkontribusi dalam memperkaya bahasa-bahasa Nusantara dengan khazanah kosa-kata dan peristilahan berkosmologi Pesantren. Bahkan, kekayaan tersebut membantu penerjemahan karya-karya sastra dari luar.[iv]
Berkembangnya karya sastra Pesantren tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap pengasuh pondok Pesantren terhadap sastra yang mulai terbuka dan memberikan respon yang baik terhadap sastra di Pesantren yang mereka kelola . Respon, baik oleh seorang kiai selaku pengasuh pondok Pesantren terhadap karya sastra dapat mendongkrak kreativitas  para santri dan sangat berdampak pada semangat kebebasan santri untuk berkreasi dalam menulis karya sastra. Contohnya seperti yang terjadi di beberapa pondok Pesantren di Jawa Timur, yaitu Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren Al-Amien, Annuqayyah, dan Darul Ulum Madura, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mathla’ul Anwar , Pesantren Suci Gresik, dan Pesantren Salafiyah Sokorejo Situbondo. Karya-karya santri dari pondok-pondok tersebut banyak yang dimuat di berbagai media massa bahkan diterbitkan dalam bentuk buku. Di samping itu, Pesantren tersebut juga menerbitkan majalah dan buletin khusus Pesantren yang di dalamnya memuat rubrik karya sastra.[v]
Selain itu para santri juga dapat menulis dan mempublish karya mereka berupa cerpen, puisi atau humor di majalah dinding Pesantren. Dengan adanya majalah Pesantren dan majalah dinding Pesantren, bisa menjadi wadah para santri untuk menyalurkan  karya-karya mereka di bidang sastra.
Sebuah gerakan kebangkitan sastra harus juga dimulai dari Pesantren oleh para santri. Dengan begitu, perkembangan sastra Pesantren akan terus meningkat dan menjadikan sastra Pesantren penuh dengan keunikan dan kekhasan yang tidak dimiliki karya sastra di luar dunia Pesantren. Oleh karena itu, keterbukaan lembaga Pesantren dan seluruh unsur yang ada di dalamnya dalam menyikapi kemampuan sastra santrinya perlu terus dipelihara, agar jangan sampai bakat mereka itu tidak dapat tersalurkan dengan baik.  Dan diupayakan  tidak sampai ada larangan bagi para santri untuk mengenal, memahami, dan mengaplikasikan sastra dalam keseharian mereka.
Adanya lomba-lomba sastra di Pesantren, juga menjadi peluang para santri untuk unjuk kebolehan dalam menghasilkan sebuah karya yang dapat dinikmati oleh orang banyak. Hal tersebut harus terus dipertahankan dan lebih ditingkatkan lagi, agar bakat sastra para santri pun dapat terasah dan diaplikasikan dengan baik. Kebangkitan sastra Pesantren pada tahapan akhir, perlu mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Di sinilah, peran lembaga-lembaga pemerintah dan swasta yang peduli terhadap keberlangsungan sastra Pesantren sangat dibutuhkan. Selain itu, dukungan dari berbagai penerbitan akan sangat berpengaruh dalam menyebarluaskan sastra Pesantren ke khalayak umum sehingga eksistensi sastra Pesantren dapat dinikmati oleh masyarakat.
Misalnya seperti di Jawa Timur, lembaga-lembaga di daerah baik itu penerbitan, pemerintah dan non-pemerintah sangat berperan dalam menyebarluaskan karya-karya sastra Pesantren. Lembaga itu antara lain Balai Bahasa Jawa Timur, Dewan Kesenian, pemerintah daerah, LPQ (Lembaga Pengembangan al-Qalam), Mata Pena, Diva Press, Tunas Publising, Ihrab Publising, dan lain-lain. Dalam konteks itu, karya sastra Pesantren tidak dapat dipisahkan dengan penerbitan, baik berupa buku, majalah, buletin maupun berupa surat kabar. Penerbitan inilah yang menyebabkan karya sastra Pesantren lahir dan berkembang serta memperoleh bentuk yang jelas.[vi]
Pada intinya, sastra Pesantren harus terus eksis sepanjang zaman dengan terus memunculkan karya-karya sastra khas Pesantren dan meningkatkan soft skill sastrawi para santri itu sendiri. Yang terakhir, dukungan ketersediaan wadah untuk menyalurkan dan menyebarluaskan sastra Pesantren perlu dipersiapkan karena sangat penting dalam menunjang eksistensi sastra Pesantren itu sendiri.
Pada kesimpulannya, kebangkitan sastra Pesantren adalah upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yaitu para santri dan sarana prasarana pendukung lainnya agar terlahir sastra Pesantren yang berbobot dan berkualitas. Sehingga, dapat dinikmai bukan hanya oleh kalangan Pesantren, tapi dapat Go Nasional dan Go Internasional.

Daftar Pustaka
Baso, Ahmad. Kembali Ke Pesantren, Kembali Ke Karakter Ideologi Bangsa. KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012.
Manshur, Fadlil Munawwar. Tasawuf dan Sastra Tasawuf dalam Kehidupan Pesantren. Humaniora. No. 10. Januari-April 1999.
Machsum, Toha. Kepengayoman Terhadap Sastra Pesantren di Jawa Timur (The Nurture of Pesantren Literature in East Java). Metasastra


[i] Ahmad Baso. Kembali Ke Pesantren, Kembali Ke Karakter Ideologi Bangsa. KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012. h. 6.
[ii] Istilah sastra tasawuf pada hakikatnya adalah sastra Islam karena tasawuf merupakan bagian kecil dari ajaran Islam. atau disebut juga sastra kitab karena dalam tradisi keilmuan Islam banyak ajaran Islam yang ditulis dalam kitab-kitab. Bisa juga sastra tasawuf disebut sebagai sastra Pesantren karena santri-santri di Pesantren banyak yang mengamalkan ajaran tasawuf melalui tarekat-tarekat. Jadi, tasawuf dan sastra tasawuf merupakan dua entitas yang berbeda, yang dalam kehidupan Pesantren dua entitas itu dipelajari dan diresapi oleh para santri. Fadlil Munawwar Manshur. Tasawuf dan Sastra Tasawuf dalam Kehidupan Pesantren. Humaniora. No. 10. Januari-April 1999. h. 102.
[iii] Berbicara mengenai sastra Pesantren, memang sangat luas cakupannya. Karena, yang dimaksud sastra Pesantren itu sendiri dapat berupa kitab-kitab kuning atau sastra tasawuf, yang tergambar melalui hikayat, babad dan syair-syair Sufi. Ada juga sastra lisan berupa humor dan guyonan yang biasa digunakan oleh para kyai. Dalam pembahasan ini, yang dimaksud sastra Pesantren adalah sastra bebas, tetapi berasal dari lingkungan Pesantren dan memang termasuk dalam bagian sastra Pesantren.
[iv] Ahmad Baso. Kembali Ke Pesantren, Kembali Ke Karakter Ideologi Bangsa. h. 7.
[v] Lihat, Toha Machsum. Kepengayoman Terhadap Sastra Pesantren di Jawa Timur (The Nurture of Pesantren Literature in East Java). Metasastra, Vol. 6 No. 1, Juni 2013. h. 91.
[vi] Lihat, Toha Machsum. Kepengayoman Terhadap Sastra Pesantren di Jawa Timur (The Nurture of Pesantren Literature in East Java). 92.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hernowo Hasim : Berkarya dan Tak Kenal Lelah

Sosok Hernowo memang sudah tidak asing dalam dunia penerbitan. Hingga membuat saya merasa senang dan beruntung bisa di bimbing oleh beliau   walau   hanya baru   beberapa   hari.   Sosoknya yang ramah dan jika berbicara sangat asyik di dengar hingga kami   merasa dibukakan   wawasan   lebih   jauh   saat mendapat   pelajaran darinya. Cara belajarnya sungguh mengasyikan   dan   bersahabat.

Resensi Buku Tafsir Sufi Al-Fatihah: Kandungan Sufistik Surat Al-Fatihah Menurut Jalaluddin Rakhmat

Judul Buku      : Tafsir Sufi al-Fatihah Penulis              : Jalaluddin Rakhmat Penerbit            : Penerbit Mizan Tahun terbit     :   20 12 Jenis buku        : Non-Fiksi (Agama Islam) Tebal                : 2 44 Halama n Harga               : Rp. 35.000 Jalaludin Rakhmat adalah seorang Cendikiawan Muslim yang terkenal aktif dalam menyuarakan suara-suara pembaruan bersama Alm. Nurkholis Madjid. Kang Jalal biasa ia disapa merupakan penulis yang produktif. Buku yang penulis bahas kali ini merupakan buku yang sebelumnya pernah diterbitkan oleh PT Remaja Rosdakarya dengan judul "Tafsir Sufi Al-Fatihah M...