![]() |
| Buku yang di dalamya ada tulisan dari penulis. |
Saat mendengar kata ‘sastra’ apa yang akan terlintas dalam benak Anda? Apakah Anda akan langsung diajak untuk membayangkan kata-kata puitis yang biasa digunakan oleh para pujangga untuk memikat pasangan? Apakah Anda justru teringat kepada beberapa sastrawan Indonesia seperti Sariamin Ismail, S. Rukiah, Chairil Anwar, W.S. Rendra, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad Joko Pinurbo, D. Zawawi Imron, Gus Mus dan kawan-kawan? Bisa saja yang terlintas di benak Anda adalah beberapa film layar lebar yang diangkat dari karya-karya sastra seperti Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Buya Hamka, Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye, Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Emak Ingin Naik Haji karya Asma Nadia, Filosofi Kopi karya Dee Lestari, Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Dilan 1990 karya Pidi Baiq dan lain sebagainya, mungkinkah itu?
Tulisanku kali ini akan menceritakan bagaimana kesan pandangan pertamaku saat mengenal sastra. Kegemaranku pada karya-karya sastra mulai ada berangkat dari film. Sejak kecil hingga sekarang, aku sangat menyukai film “Harry Potter”; dari film pertama hingga terakhir sudah aku tonton entah berapa kali jumlahnya. Film yang berangkat dari sebuah novel karya J.K. Rowling yang belum pernah saya membaca novel aslinya karena saat mendapat kesempatan untuk melihat dan menyetuhnya di toko buku saat berada di Jakarta, label harga yang menempel di bagian belakang buku sedikit membuat saya mengerenyitkan dahi dan menurunkan buku yang sudah berada dalam genggaman.
Bagi yang pernah menontonnya film tersebut, mungkin membuat Anda menjadi tertarik untuk mempelajari sihir atau berharap andai saja sekolah seperti Hogwarts benar-benar ada di dunia nyata, sehingga Anda bisa pergi belajar ke sana. Aku, menggunakan nama Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore atau biasa dipanggil Albus Dumbledore sebagai nama samaran saat masa-masa penerimaan siswa baru. Dosen Bahasa Indonesia saya, Alm. Hernowo Hasyim, seorang pegiat literasi yang menyemangati murid-muridnya untuk terus menulis dan melakukan metode ‘Mengikat Makna’ bahkan punya buku yang membahas film Harry Potter (Aku Ingin Bunuh Harry Potter).
Ingatan mengenai film membuatku terbawa pada memori saat di Pesantren. Masih teringat betul di ingatanku, saat Madrasah Tsanawiyah di Pesantren untuk mengisi waktu libur, diputar film Ayat-ayat Cinta yang kala itu sedang ramai diperbincangkan. Dari film itulah rasa ketertarikan untuk membaca novel mulai ada. Namun, karena akses yang mungkin masih sulit bagi saya untuk membeli buku di kota, saya lebih banyak menikmati novel melalui orang lain alias pinjam. Novel Ayat-ayat Cinta saya baca sampai selesai karena pinjam dari senior saat itu.
Masih ada beberapa novel yang saya ingat pernah saya baca antara lain : Dalam Mihrab Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Di Atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Berbuah Surga, Cinta Suci Zahrana, dan Bumi Cinta. Karya-karya Habiburrahman El Shirazy atau Kang Abik paling banyak dimiliki santri kala itu dan sering saya baca tentu pinjam dari teman. Novel Ketika Tuhan Jatuh Cinta saya baca sampai selesai, dari jilid satu hingga dua juga sama, pinjam dari teman dekat yang memiliki banyak koleksi novel pada masa-masa itu.
Saat ada kesempatan pergi ke Karawang untuk membeli beberapa buku paket latihan UN, saya melihat beberapa novel dan membuat pandangan mata tak bisa teralihkan. Tetapi, mungkin faktor harga bagi saya masih jadi penghalang untuk memiliki sebuah novel, meski alasan harga bisa jadi tidak logis bagi Anda yang sangat mencintai karya-karya sastra. Menelisik ingatan masa lalu, seingat saya novel Surat Kecil untuk Tuhan merupakan novel pertama yang saya beli kala itu, dibeli di Pasar Swalayan Mini untuk hadiah pada seseorang pada masa-masa itu.
Bagaimana dengan cerpen? Perkenalanku dengan cerpen secara tidak sengaja saat aku pergi ke sebuah toko di Cilamaya, secara tidak sengaja aku membeli sebuah buku kumpulan cerpen yang di dalamnya seingatku ada ceria tulisan Go A Gong (maaf jika aku salah). Inti kumpulan cerpen itu adalah cerita mengenai Tsunami di Aceh.
Keinginan untuk membuat karya sastra berupa novel atau cerpen menginspirasi saya membuat sebuah majalah dinding. Majalah dinding yang berada di depan kamar asrama, aku isi dengan beberapa puisi atau cerpen santri yang berasal dari majalah yang dikirimkan teman dekat saya.
Mulai sejak saat itu, saya mencoba untuk menulis puisi atau membuat novel. Biasanya, saya pergi pergi ke warnet saat libur atau mungkin mengendap-endap ke komputer agar bisa menyelesaikan tulisan tersebut. Namun, kebiasaan yang paling sering dan sampai sekarang kadang susah dihilangkan adalah menulis di lembaran kertas. Saya biasa menyediakan sebuah buku khusus, satu buku untuk satu cerita. Selain itu, lembaran kertas bekas menjadi sangat berharga karena biasanya saya gunakan untuk menulis puisi atau cerita. Beberapa puisi atau mungkin belum pantas disebut sebagai puisi lebih tepatnya sebagai kata-kata pribadi telah saya terbitkan menjadi sebuah buku dengan judul ‘Renungan Masa’.
Saat merantau ke Jakarta, saya memiliki notebook bekas dari penjualan sepeda motor yang biasa digunakan untuk pergi sekolah saat masa Aliyah dulu. Dengan notebook itulah saya memulai kembali menyelesaikan novel yang telah saya buat sejak lama.
Hingga suatu saat, karena merasa ingin memiliki laptop baru dengan kualifikasi Windows 8 dan layar lebih lebar untuk menonton film, notebook itu saya iklankan pada situs jual beli melalui perantaraan teman. Pada suatu malam, ia memberitahuku bahwa ada pembeli yang tertarik untuk membeli notebook tersebut dan meminta bertemu malam itu juga. Di tengah padamnya aliran listrik, saya bergegas untuk memindahkan data-data yang saya miliki terutama novel yang telah saya buat. Sayangnya, setelah berlalunya waktu, data-data itu tidak bisa saya selamatkan karena tergesa-gesa. Dua novel yang sudah rampung “Cinta di Balik Satir” menceritakan kisah cinta seorang santri dengan putri Kyainya yang saya buat sejak di Pesantren dan satu lagi “Aku Bangga Jadi Anak Indonesia” yang menceritakan perjuangan seorang anak pesisir untuk bisa mengikuti perlombaan di luar negeri yang saya buat saat sudah kuliah di Jakarta, ikut terbawa di dalam notebook yang terjual itu.
Momen mengikuti Workshop Writerpreneur adalah momen saya bisa berkenalan dan bertemu para penulis hebat yang luar biasa. Lewat sebuah projek, kami harus menghasilkan sebuah karya. Saya ikut bergabung bersama Tim Renjana dan sudah menerbitkan sebuah novelet atau kumpulan cerita yang ditulis oleh enam anggota tim berjudul Pitu Loka, cerita itu diikat dengan benang merah yang sama (semoga Anda sudah membeli dan membaca buku tersebut). Harus diakui, saya adalah yang paling pemula di antara semuanya. Secara pribadi saya sangat berterima kasih kepada para senior yang sudah mau bersabar membina saya dari nol dan berbagi pengalaman dan pengetahuan menulisnya.
Satu masalah serius dan mungkin penyakit adalah tipikal tidak bisa berkonsentrasi pada satu titik menjadi penghalang besar bagi saya untuk merampungkan sebuah karya. Saat sedang menulis sebuah cerita, kemudian datang ide lain dengan judul yang lain, maka tulisan pertama saya hentikan dan pindah mengerjakan tulisan yang baru dan begitulah seterusnya. Kerap terjadi dan tidak pernah selesai.
Sampai kini, saya masih terus belajar untuk menulis sastra terutama novel dan cerpen. Tidak mudah memang membuat karya dengan bahasa dan cerita yang mengalir, tidak terlalu kaku, tidak membosankan, seting latar yang jelas, alur yang menarik, diksi-diksi atau kosakata yang kaya; membuat saya terus latihan dan belajar. Dalam beberapa kesempatan, saya ikut mengirimkan beberapa tulisan baik puisi maupun cerpen pada lomba atau sayembara. Meski tidak pernah menang, tapi saya senang saat karya itu dibukukan.
Intinya, jangan pernah menyerah untuk belajar dan teruslah berkarya. Tulisanmu akan jadi harta karun pada masanya. Saya teringat pesan Alm. Hernowo Hasyim kepada kami mahasiswanya, untuk terus menulis mulai dari sesuatu yang kita kerjakan sehari-hari yang bisa saja kita anggap sepele selama ini, misalnya adalah melalui buku harian. Kita bisa memulai dengan mencatat apa yang sudah dikerjakan, apa yang kita baca, atau kita tonton sepanjang hari. Kebiasaan itu akan membuat kita mudah untuk menulis. Jangan pernah takut salah dalam menulis. Setiap orang memiliki gaya dan caranya masing-masing dalam menulis. Semangat!
Rasa terima kasih yang tak mungkin bisa dilukiskan teruntuk Alm. Hernowo, Kang Abik, Uda Ahmad Fuadi, Ayah Pidi Baiq, Daeng Khrisna Pabichara, Kak Agustinus Wibowo dan Emak Kirana Kejora dan orang-orang yang telah memberikan ilmu dan inspirasinya agar say tetap produktif menulis dan terus belajar menulis. Permohonan maaf dan terima kasih juga kepada Tim Renjana Pitu Loka yang harus selalu bersabar menghadapi orang yang masih belajar sastra ini.
Menyambut sang surya bertemankan secangkir kopi dan berbalut selimut.
Jakarta, 29 Maret 2020Pukul 05.33 WIB

Komentar
Posting Komentar