Pendahuluan
Gejala radikalisme agama tidak pernah berhenti dalam rentang
perjalanan sejarah umat Islam hingga sekarang. Bahkan, wacana tentang hubungan
agama (Islam) dan radikalisme belakangan semakin menguat seiring dengan
munculnya berbagai tindakan kekerasan dan lahirnya gerakan-gerakan radikal,
khususnya pasca peristiwa 9 September 2001 di New York, Washington DC, dan
Philadelphia, yang kemudian diikuti pengeboman di Bali (12/10/2002 dan
1/10/2005), Madrid (11/3/2004), London (7/7/2005), dan terakhir di Paris (13/10/2015)
(Dede Rodin: 2016: 30).
Karena kejadian itu Islamophobia dengan begitu cepat melanda
Eropa, Australia dan Amerika hingga membuat umat Islam merasa disudutkan. Karena
kejadian tersebut Barat menggeneralisir
umat Islam dengan tuduhan sebagai teroris yang kerap kali melakukan tindakan
kekerasan. Radikalisme bukan hanya berkembang di kelompok tertentu atau
individu saja, akan tetapi sudah merambah ke dalam lingkungan lembaga
pendidikan. Dunia khususnya kalangan Barat menganggap salah satu lembaga
pendidikan yang dianggap menjadi celah pintu masuknya eksteimisme dan radikalisme
di Indonesia adalah pesantren.
Seperti kita ketahui banyak peristiwa kekerasan, terutama yang
terjadi dalam tragedi Bom Bali misalnya,
telah menjadikan pesantren sebagai “kambing hitam” sehingga muncul klaim
“pesantren adalah sarang teroris”. Padahal, keterlibatan okum pesantren maupun
umat Islam dalam bom Bali maupun bom-bom lain di tanah air adalah peristiwa
yang paling banyak melukai kalangan pesantren maupun umat Islam itu sendiri
(Rahman Mantu: 2015: 132).
Penangkapan terduga pelaku teror yang berasal dari kalangan santri
memberikan stigma negatif terhadap pesantren dan berbagai kompomen yang ada di
dalamnya; tidak hanya santri tetapi juga termasuk Kiyai dan ajaran-ajaran Islam
yang diajarkan di pondok pesantren. Bahkan sampai kepada tuduhan yang
tendensius oleh pihak Barat dan orang-orang yang khawatir dan anti Islam
terlontar dengan menyatakan bahwa agama Islam-lah yang sebenarnya memicu
tindakan teror. (Eneng Muslihah: 2014: 313).
Berdasarkan
latar belakang di atas, tulisan ini akan lebih banyak mengkaji cara-cara yang
dapat dilakukan oleh pondok pesantren dalam mencegah masuk dan berkembangnya
paham ekstremis dan radikal di lingkungan pesantren yang bisa saja menyasar
pimpinan, kurikulum, santri dan alumni pesantren itu sendiri.
Sejarah Pesantren
Ketika menyebut
nama pesantren, kita akan teringat bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh
para ulama dan santri dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Keikut sertaan
pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia merupakan sebuah fakta
yang tidak bisa dibantah. Sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia
khususnya umat Islam, pesantren memiliki sejarah yang cukup panjang sejak awal
didirikannya hingga pertumbuhannya di era modern ini.
Pesantren
merupakan khazanah peradaban Nusantara yang telah ada sejak zaman Kapitayan,
sebelum hadirnya agama-agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam. Pertemuan
dengan agama besar tersebut membuat pesantren mengalami perubahan mulai dari
segi bentuk da nisi sesuai dengan karakter masing-masing agama, akan tetapi
misi utamanya yaitu memberikan asupan nilai spiritual dan moral terhadap kehidupan
masyarakat sehari-hari tidak pernah berubah. Sejak awal pesantren telah menjadi
pusat pendidikan masyarakat dalam berbagai hal mulai dari bidang agama, bela diri, kesenian,
perekonomian, dan ketatanegaraan. Oleh sebab itu, para calon pemimpin baik itu
pemimpin agama, pujangga, pangeran, dan sultan dididik dalam lingkungan
pesantren atau padepokan. Para pandita, penembahan atau Kiai yang mengasuh para
murid, cantrik atau santri dalam belajar sehari-hari (Said Aqil Siroj: 2014:
3).
Selain itu,
menurut Ibnu Assayuthi Arrifa’i (2010: 32) Pesantren adalah lembaga pendidikan
Islam tertua di tanah air. Lazimnya dalam pesantren, seorang ulama dikelilingi
beberapa santri yang mempelajari agama Islam sekaligus menjadi penerus penyebar
Islam. Dengan bahasa lain, santri didik menjadi kader penerus perjuangan Islam
serta dilatih untuk menjadi pelayan masyarakat. Oleh karena itu, di samping
pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam, lembaga perjuangan Islam
juga lembaga pelayan masyarakat.
Pesantren
pertama kali dibangun di wilayah pedesaan di Jawa dan Madura oleh para ulama
dengan menyediakan asrama atau pondok sebagai tempat menginap para santri. Di
Sumatera Barat, di Minangkabau dikenal dengan nama Surau, di Aceh disebut
Dayah. Dalam Babad Demak disebut bahwa pesantren pertama kali dibangun oleh
Sunan Ampel pada masa kepemimpinan Prabu Kertawijaya dari Majapahit (James J.
Fox et.al: 2002: 20).
Meskipun
demikian menurut (Mujamil Qomar: t.th: 8-9 ) bahwa dalam menentukan pendiri
pertama pesantren ada perbedaan pendapat. Nama-nama yang diperdebatkan sebagai
pendiri pertama pesantren antara lain Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, dan
Sunan Gunung Djati. Dari perbedaan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa
pondasi nilai-nilai pesantren sudah ada pada masa Maulana Malik Ibrahim,
kemudian pembinaan pesantren pertama kali dilakukan oleh Sunan Ampel. Sedangkan
Sunan Gunung Djati baru mendirikan pesantren setelah itu.
Penguatan Peran Pesantren
Sebagai lembaga
pendidikan yang sudah ada sejak lama, membuat keberadaan pesantren telah
tersebar ke berbagai pelosok Indonesia mulai dari pedesaan hingga perkotaan.
Jumlah pesantren terus bertambah seiring dengan adanya klasifikasi atau
konsentrasi khusus pesantren itu sendiri. Kondisi tersebut didukung dengan
keberadaan pesantren salaf yang terus eksis hingga kini, bertambahnya pesantren
modern yang berdiri, pengembangkan cabang di berbagai wilayah, dan minat
masyarakat untuk belajar di pesantren.
Tidak mudah
memang mengajak masyarakat untuk berbondong-bondong belajar di pesantren. Pola
pikir masyarakat yang masih menjadikan sekolah sebagai batu loncatan untuk
mencari kerja masih tetap ada. Dengan adanya tuduhan bahwa pesantren adalah
sarang teroris dan bagian dari penyebaran ekstremisme dan radikalisme semakin
membuat minat untuk belajar ke pesantren menjadi menurun dan pandangan sinis
kepada dunia pesantren terus meningkat.
Terjadinya
beberapa peristiwa ekstrimisme dan radikalisme di Indonesia yang dilakukan oleh
segelintir orang yang berlatar belakang pesantren memang melukai dunia
pendidikan. Akan tetapi, banyaknya tuduhan yang mengarah kepada pesantren perlu
disikapi dengan arif dan bijaksana. Justru ketika bola panas ini ditujukan
kepada pesantren, pesantren perlu memberikan klarifikasi kepada masyarakat
bahwa tuduhan tersebut tidaklah benar. Selain itu, momentum tersebut dapat
digunakan oleh pesantren untuk berbenah diri dan melakukan evaluasi baik itu
dari segi SDM, maupun pengembangan pendidikan yang selama ini telah dilakukan
dan sejauh mana keberhasilan pesantren dalam membina para santri.
Sebagai benteng
akidah, budaya, dan kelimuan pesantren sudah seharusnya membentengi diri dari masuknya
paham radikal dan ekstremis. Penanggulangan masuk dan menyebarnya paham radikal
dan ekstremis di dalam pesantren dapat diketahui dari dalam. Di sinilah peran
dari sosok sentral figur seorang Kyai sangat dibutuhkan. Karena Kyailah yang
hidup bersama para santri, didengar dan dijadikan panutan oleh santri dan
masyarakat. Kyai juga berperan dalam menentukan kebijakan, pola pembinaan dan
kurikulum dalam pesantren. Selain itu masyarakat di sekitar pesantren dapat
berperan aktif dalam menjaga, mengawasi, dan memberikan masukan kepada
pesantren.
Sebagai lembaga
pendidikan terbesar dan tertua di Indonesia dengan basis jaringan alumni yang
tersebar di mana-mana, membuat kehadiran pesantren tidak boleh dianggap sebelah
mata oleh pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Agama sudah seharusnya
membina, mengawasi, mengevaluasi, dan memberdayakan pesantren, sehingga terjadi
sinergi antara pesantren dengan pemerintah yang dirasakan selama ini masih
kurang dekat.
Kini dengan
semakin pentingnya deradikalisasi pemikiran Islam melalui pendidikan, sudah
sewajarnya bila komitmen kebangsaan yang telah ditunjukkan pondok pesantren
dibayar lunas oleh pemerintah dengan perhatian yang memadai. Hal ini dapat
dilakukan dengan merangkul pondok pesantren dalam program pemberdayaan
masyarakat yang umum digalakkan pemerintah saat ini (Ahmad Darmadji: 2011:
247).
Oleh sebab itu,
perhatian pemerintah pun harus seimbang terhadap pesantren modern maupun salaf.
Pemerintah juga sudah seharusnya lebih memperhatikan nasib pesantren sehingga
tidak ada lagi anggapan atau istilah anak emas dan anak tiri dalam lingkungan
pendidikan. Jika selama ini pesantren modern lebih banyak berhubungan langsung
dengan pemerintah, sudah saatnya pesantren salaf juga membuka diri dan bersifat
terbuka dengan Kementerian Agama. Pencegahan munculnya radikalisme di
lingkungan pesantren memang perlu mendapat dukungan dari pesantren itu sendiri.
Menurut
Nuhrison. M. Nuh (ed) (2010: 157-158) Pengembangan peran pesantren dalam
penanggulangan radikalisme agama ini antara lain dapat dilakukan melalui
“jaringan kerjasama pondok pesantren”. Sebagai sub-sistem sosial, pesantren
bersama-sama dengan segenap lapisan dan kelompok sosial lainnya, senantiasa
berupaya agar keseimbangan sosial selalu terjaga dengan baik.
Selain itu
untuk mewujudkan sinergitas pemerintah dan pesantren dalam mencegah
perkembangan paham ekstremis dan radikal, halaqoh kebangsaan yang melibatkan
para pimpinan pesantren di seluruh Indonesia perlu dilakukan dan diagendakan
setiap tahun oleh pemerintah dalam rangka menjalin kerja sama dan memupuk nila
kebangsaan dan menyatukan visi-misi dalam mencegah berkembangnya paham
ekstremisme dan radikalisme.
Pemberdayaan Santri dan Alumni
Pesantren memiliki
banyak masa mulai dari para pengajar, santri, wali santri, masyarakat dan para
alumni. Setelah melakukan pencegahan menyebarnya paham ekstremis dan radikal di
dalam lingkungan pesantren yang mengarah kepada para santri dan pengajar,
pesantren dengan basis alumni yang tersebar di seluruh Indonesia dapat
memanfaatkan keberadaan ikatan alumni sebagai wadah untuk mengontrol dan
memberikan pencerahan, dan memberdayakan alumni. Karena hubungan emosional
antara santri dan Kyai sangat kuat, ketika santri telah menjalani pendidikan di
pesantren maka pesantren bukan melepas santrinya begitu saja. Tapi hubungan
emosional yang telah berlangsung lama itu harus terus dipupuk dan terjalin
dengan baik sehingga dengan cara itu tidak ada alumni pesantren yang terlibat
dalam tindakan ekstremis dan radikal.
Pendidikan Perdamaian dan Wawasan
Kebangsaan
Pesantren
meskipun lebih menekankan pendidikan agama dan pengajaran kitab terhadap para
santrinya, jangan lupa untuk menanamkan nilai kebangsaan dan nasionalisme kepada
para santrinya. Banyak cara yang bisa dilakukan antara lain dengan memperingati
hari pahlawan, sumpah pemuda, melakukan upacara bendera pada hari kemerdekaan,
serta mengadakan kajian dan diskusi wawasan kebangsaan. Selain itu, pesantren
juga harus lebih bersifat terbuka dan tidak menutup diri. Peran sentral seorang
Kyai yang tingkah-laku dan ucapannya ditiru dan dipatuhi oleh para santri dan
masyarakat sangat dibutuhkan dalam memberikan wawasan kebangsaan kepada para
santri.
Dalam aspek
pendidikan, pesantren sudah seharusnya mengenalkan pola pendidikan yang
bersifat toleran, yaitu menghargai perbedaan dan menjaga perdamaian. Dengan
memahami sejak dini bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan,
sehingga perbedaan pendapat dan keyakinan antar manusia harus dihargai dan
dilindungi. Pendidikan toleran dan perdamaian dapat dilakukan dengan menekankan
pemahaman keagamaan yang berprinsipkan pada akhlak, cinta tanah air, dan
menghargai perbedaan sebagaimana dalam hadis Nabi bahwa perbedaan adalah rahmat,
dan keberagaman adalah sebuah keniscayaan Qs. Al-Hujuraat (49): 13.
Pendidikan
toleran dan inklusif saat ini sangat mendesak untuk diterapkan di pesantren dan
lembaga pendidikan Islam lainnya di tengah-tengah maraknya indoktrinasi.
Pendidikan Inklusif merupakan proses belajar mengajar yang mengedepankan
keterbukaan dalam menyikapi perbedaan pendapat (Irwan Maduqi: 2013: 10).
Salah satu
model pendidikan perdamaian yang dapat dicontoh oleh pesantren yang belum
menerapkan pendidikan perdamaian adalah usaha yang dilakukan oleh Pesantren Al
Muayyad Windan di Surakarta. Menurut Ulfa Masamah (2013: 37) Pendidikan
perdamaian yang dilakukan di Pesantren Al Muayyad Windan bertujuan untuk
meningkatkan keadilan dan menurunkan kekerasan di masyarakat. Usaha-usaha yang
dilakukan adalah antara lain pertama, dialog antar agama baik pada
pembelajaran bersama maupun aksi bersama. Kedua, kajian sejarah kritis
yang mendukung pemberdayaan rekonsiliasi. Ketiga, program pemberdayaan
rekonsiliasi untuk masyarakat terutama para tokoh dalam mengelola konflik tanpa
kekerasan. Keempat, mencegah terjadinya pandangkalan agama dengan
menitik beratkan keberagamaan dari pada formalisme agama.
Kesimpulan
Pandangan dan tuduhan
negatif Barat terhadap pesantren dapat menjadi momentum pesantren untuk berdiri
di garda paling depan dalam mencegah berkembangnya paham ekstremisme dan
radikal baik di masyarakat maupun dalam lingkungan pesantren. Upaya tersebut
dapat diwujudkan dengan kerja sama yang baik antara pesantren dan pemerintah.
Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan menanamkan wawasan kebangsaan
melalui peringatan hari pahlawan, sumpah pemuda, hari kemerdekaan, kajian dan
diskusi kebangsaan, dan pengembangan kurikulum pendidikan dengan pola
pendidikan toleran dan perdamaian yang menghargai perbedaan baik itu perbedaan
pendapat maupun perbedaan keyakinan.
Daftar Pustaka
Arrifa’i, Ibnu Assayuthi. Korelasi Syaikhona Muhammad Kholil
Bangkalan & NU: Mengenang & Menghayati Perjuangan Sang Inspirator.
Cet. 1. Tt: al-Haula Press, 2010.
Darmadji, Ahmad. Pondok Pesantren dan Deradikalisasi Islam di
Indonesia. Dalam Jurnal Millah Vol. XI. No. 1. Agustus 2011.
Fox, James J. (et.al). Indonesian Heritage. Vol . 9.
Penerjemah Frans Balla. Jakarta: Buku Antar Bangsa & Grolier International
Inc, 2002.
Mantu, Rahman. Bina-Damai dalam Komunitas Pesantren: Sebuah
Upaya Counter-Radikalisme. Dalam Jurnal Walisongo Vol. 23. No. 1. Mei 2015.
Masamah, Ulfa. Pesantren Dan Pendidikan Perdamaian. Dalam
Jurnal Pendidikan Islam Volume II, Nomor 1, Juni 2013.
Masduqi, Irwan. Deradikalisasi Pendidikan Islam Berbasis
Khazanah Pesantren. Dalam Jurnal Pendidikan Islam. Vol. II. No. 1. Juni
2013.
Muslihah, Eneng. Pesantren dan Pengembangan Pendidikan
Perdamaian. Dalam ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14, Nomor 2,
Desember 2014.
Nuh, Nuhrison. M. (ed). Peranan Pesantren dalam Mengembangkan
Budaya Damai. Ed. 1. Cet. 1. Jakarta: Puslitbang Keagamaan Balitbang dan
Diklat Kementerian Agama, 2010.
Qomar, Mujamil. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokrasi Institusi. Jakarta: Erlangga, t.th.
Rodin, Dede. Islam dan
Radikalisme:Telaah atas Ayat-ayat “Kekerasan” dalam al-Qur’an. Dalam Jurnal ADDIN, Vol. 10, No. 1, Februari 2016.
Siroj, Said Aqil. Islam
Sumber Inspirasi Budaya Nusantara: Menuju Masyarakat Mutamaddin. Cet. 1.
Jakarta: LTN NU, 2014.
Komentar
Posting Komentar