Manusia memang
sangat aneh. Ketika ia terlahir ke dunia ia akhirnya memperoleh kedudukan dan
lain sebagainya. Kemudian tanpa halangan ia berjalan dengan melenggang bagai
pemilik dunia ini.
Pencarian
manusia akan hakikat siapa dirinya tidak pernah berhenti. Bahkan ia terus
mencari siapa Tuhannya yang patut ia patuhi. Kegundahan hati manusia itu
terkadang tertutupi oleh ego semata yang membuat ia lupa tentang perbuatan itu.
Mungkin dahulu
pernah terbesit di benak saya ketika mendengar kata “Tasawuf” pasti itu adalah
akhlak atau pembersihan diri. Dan Tasawuf pada akhirnya identik dengan
thariqah-thariqah yang diamalkan oleh sebagian orang. Mempelajari tasawuf hanya
akan menghabiskan umur dan membuang waktu saja.
Karena walau
pun kita mempelajari penyucian diri akan tetapi pada tataran praktisnya nol
besar, atau sebaliknya. Untuk apa belajar tasawuf jika tidak direalisasikan
dalam perbuatan. Belajar Tasawuf sudah seharusnya sembari mengamalkan thariqah.
Tasawuf selalu
saja diidentikan dengan orang-orang yang kumuh, miskin, menyendiri, dan tidak
bersosial atau berbaur dengan masyarakat lain. Tidak ada yang eklusif atau yang
mampu menarik kita untuk mempelajarinya, untuk mengenalnya saja kita masih
perlu berpikir dua kali.
Kenapa harus
belajar Tasawuf?
Kalau sudah
belajar lalu manfaatnya apa untuk diri kita?
Memangnya
tasawuf itu penting?
Memangnya diri
kita sudah siap lahir batin untuk mempelajari Tasawuf yang kuno itu?
Jika sudah
bertasawuf, lalu apa yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari?
Itulah beberapa
pertanyaan yang hinggap dan selalu berputar-putar di kepala ini. Karena stigma
itulah ketika saya ingin mempelajari tasawuf, ada kegundahan yang terpikirkan
yaitu “Jika saya belajar tasawuf berarti saya harus menjadi sufi dan
bertarekat”. Akan tetapi stigma itu pada kenyataannya seiring dengan
berjalannya waktu hilang ketika belajar tasawuf secara mendalam.
Sebagai seorang
insan yang membutuhkan pada wawasan yang mendalam berupa siraman rohani mau pun
pengetahuan, rasanya memang perlu mempelajari tasawuf. Tasawuf mengajarkan
kepada saya beberapa aspek nilai-nilai yang begitu penting yang dapat berguna
untuk kehidupan sehari-hari.
Sebagai manusia
kita mungkin akan bertanya, siapakah diri kita ini? apa tujuan kita diciptakan?
bagaimana cara kita hidup? kepada siapa kita menyembah? bagaimana garis
kehidupan kita? apakah kita termasuk orang yang beruntung atau juru celaka?
pada titik mana kita akan mencapai tujuan kehidupan?
Beberapa
pertanyaan itu mungkin saja sepele dan tidak bermakna. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan
itu merupakan hasil perenungan yang sepantasnya menjadi poin penting yang haus
akan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan bentuk kegundahan manusia
yang ingin mengetahui hakikat kehidupan.
Hubungan
manusia yang didasari oleh dua aspek yaitu garis vertikal dan horizontal atau
disebut juga hubungan habl min Allah dan habl min an-Nas. Posisi
manusia yang merupakan seorang hamba yang mengabdikan dirinya kepada Dzat yang
ia cintai dan ia patuhi.
Kedua posisi
itu tidak dapat dipisahkan. Manusia yang baik adalah orang yang mampu
menyeimbangkan antara hubungan dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia.
Beribadah dengan giat akan tetapi menyampingkan hubungan sosial dengan manusia,
maka rasanya akan dikucilkan oleh masyarakat. Jika hanya fokus pada hubungan
baik dengan sesame manusia, maka bisa jadi kita tidak mengaktualkan status kita
sebagai seorang hambanya Tuhan.
Berbagai
atribut penghambaan manusia gunakan dalam rangka bukti ketundukannya kepada
Tuhan. Bahkan jalan-jalan untuk mengenal, mendekat, dan bertemu dengan Tuhan,
manusia lalu dengan berbagai macam cara.
Tuhan sebagai pencipta alam semesta
yang begitu luas dan tidak terhingga sudah sepantasnya memang dipatuhi oleh
manusia. Ketundukan terhadap apa saja yang Tuhan perintahkan akan dilaksanakan
tanpa bantahan. Meski pun berat, tidak ada kata mengeluh dalam melaksanaka
perintah itu.
Tunduk bukan hanya sekedar tunduk
dan patuh belaka. Tetapi di sini ketundukkan kita kepada Tuhan harus
mendahulukan Tuhan dari yang lainnya. Tidak mendua maksudnya. Pada posisi ini
kita menundukan ego kita dengan kepentingan Tuhan.
Karena setiap manusia mengemban
beban yang sama yaitu sebagai hamba Tuhan. Hamba haruslah patuh pada tuannya.
Tuhan memang berbeda dengan sebutan tuan untuk makhluk. Jika tuan makhluk bisa
saja ia memerintahkan sesuatu yang buruk bagi hambanya, bahkan dapat melukai
hamba itu.
Tetapi, Tuhan tidaklah seperti itu.
Dia tentu tahu betul bagaimana kondisi hamba-Nya. Karena bagaimana pun Dia
sendiri yang menciptakan hamba tersebut. Jadi tidak mungkin Tuhan akan
memerintahkan suatu hal yang berdampak buruk bagi manusia. Itu tentu
bertentangan dengan kedudukan Tuhan itu sendiri.
Manusia memang lengah dan dapat
dengan mudah terkena bujuk dan rayuan. Sehingga banyak perbuatan dosa dan
maksiat yang dia lakukan. Tanpa disadari, ternyata dosa dan maksiat itu
menghalangi hubungan kita dengan Tuhan.
Sehingga, pandangan ruhani kita
tidak mampu untuk melihat Tuhan. Bahkan untuk menfapatkan pancaran sinar Tuhan
sendiri menjadi sulit. Itu semua dikarenakan diri kita telah tertutupi oleh
noda yang sangat tebal. Sehingga sulit bagi cahaya itu masuk ke dalamnya.
Contohnya saja seperti sebuah gelas
yang berisikan noda hitam yang pekat, ketika gelas itu disoroti oleh cahaya
maka tidak akan tembus cahaya itu. Katena isi gelas itu sudah sangat hitam dan
menghalangi pancara cahaya untuk menembusnya.
Tasawuf menurut
saya mengajarkan pada dua aspek kehidupan. Yaitu kehidupan secara vertikal
maupun horizontal (habl min Allah dan habl min an-Nas). Dengan begitu
saya dapat memahami aspek terpenting dalam penghambaan kepada Tuhan.
Penyingkapan Kebesarannya begitu terasa. Proses penyucian hati, perjalanan
ruhani, dan bentuk penghambaan.
Di sisi lain,
manusia diciptakan tidak sendiri. Dia terlahir ke Dunia ini untuk
bersosialisasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Oleh karena itu setiap
individu harus mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Manusia memang
makhluk mulia, pantas saja para malaikat tunduk dan menghormati Adam kala itu
di surga. Karena manusia memiliki akal dan nafsu di mana kedua unsur tersebut
menyatu dan harus diporsikan sesuai dengan tempatnya masing-masing. Khususnya
nafsu yang terkadang justru mengotori diri manusia. Nafsu ibarat harimau yang
jika sudah mengamuk maka kehancuran yang akan didapat.
Hawa nafsu
harus dikendalikan oleh akal, bukan akal yang dikendalikan oleh hawa nafsu.
Karena jika hawa nafsu mengendalikan akal, maka yang terjadi adalah tindakan
atau perbuatan yang lebih condong pada nafsu meski pun bertentangan dengan akal
manusia.
Sebab itu,
manusia harus mampu mengontrol emosi dan hawa nafsunya. Jika salah menempatkan,
atau tidak mampu mengendalikannya maka bisa jadi hidup kita menjadi tidak
terkontrol dan tidak terarah.
Apakah tasawuf
mengajarkan kita tentang penyakit hati? hanya sekedar memberitahu atau justru
memberikan tawaran solusi terhadapnya. Itu yang mungkin akan kita tanyakan jika
sudah masuk ke dalam ranah tasawuf.
Dengan belajar
Tasawuf selain mengetahui nama-nama penyakit hati. Saya juga dapat mengetahui
bagaimana proses penyucian dan penyembuhan penyakit hati. Penyakit itu antara
lain riya, dengki, sombong, pemarah, pelit, adu domba, dan masih banyak lagi.
Sedangkan nama sifat-sifat yang baik adalah sabar., ikhlas, dermawan,
penyayang, lemah lembut, dan lain-lain.
Tasawuf
mengajarkan kepada saya bagaimana proses penyucian dan pembersihan itu. Bahkan
Tasawuf memberikan kita informasi mana sifat-sifat yang baik dan mana yang
tercela. dengan begitu kita dapat memilah dan menyeleksi diri dengan intropeksi
apakah yang ada dalam diri kita adalah sifat terpuji atau justru malah
sebaliknya.
Karena tidak
sebatas mengetahui sifat-sifat negatif yang harus dibersihkan dari diri kita,
manusia juga harus mengetahui cara-cara agar terhindar dari penyakit hati. Jika
di dalam diri kita yang ada adalah sifat-sifat baik, maka kita diajarkan untuk
mengoptimalisasikannya. Akan tetapi jika di dalamnya berisi sifat negatif, maka
tasawuf mengajarkan cara pembersihannya. Kemudian juga diajarkan bagaimana
mengisi diri yang telah dibersihkan itu dengan sifat-sifat yang baik.
Dalam
beribadah, tasawuf juga sangat memperhatikan manusia. Bahwa proses mengenal
diri adalah langkah awal untuk mengenal Tuhan. Sehingga dalam beribadah kita
harus mengenal dulu siapa kita ini. Barulah kemudian kita akan mengenal siapa
pencipta manusia. Dari memahami diri ini, manusia akan memahami hakikat Tuhan.
Manusia sebagai
makhluk yang lemah, hina dan banyak melakukan kesalahan, pada dasarnya sadar
betul akan posisinya itu. Sehingga dalam setiap munajatnya manusia selalu
memohon perlindungan kepada sesuatu yang dianggap lebih besar, lebih berkuasa
dari manusia.
Banyak manusia
yang melakukan ibadah. Akan tetapi rasa malas dan lain-lain selalu menyelimuti
setiap diri kita. Ibadah pun dilakukan karena terpaksa. Sehingga ketika
menjalankan sebuah ibadah keluh kesah justru yang didapat
Ibadah bukan
hanya sekedar gerakan dan komat kami saja. Setiap gerakan merupakan cerminan
dari pengabdian diri kita. Bahkan ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an sudah
seharusnya dipahami maksud dan maknanya. Kemudian diresapi oleh diri kita.
Beribadah
haruslah dengan tulus dan tidak ada unsur riya terhadap manusia lainnya.
Ternyata ibadah bukanlah hanya berbentuk ritual-ritual keagamaan seperti
sholat, puasa dan sebagainya. Akan tetapi ibadah ruhani juga termasuk, seperti
ketundukan hati, dan selalu menyebut nama Tuhan dalam setiap tarikan nafas
kita.
Banyak manusia
yang lupa akan hal itu. Ibadah justru hanya dilakukan sebagai sebuah formalitas
agama belaka. Setelah ibadah dilakukan, maka maksiat terus dilakukan. Ibadah
yang dilakukan tidak merasuk ke dalam diri dan perbuatan orang itu sendiri.
Kita harus
senantiasa mengingat Allah di mana pun kita berada. Nama Allah seakan mengalir
bersama aliran darah kita menuju jantung. Bahkan setiap detak jantung kita
selalu bertasbih kepada-Nya. Dalam hidup sudah sepantasnya manusia selalu
mengingat Allah dalam segala hal dan kondisi bagaimana pun.
Baik itu dikala
susah dan senang tidak mengurangi atau mempengaruhi ketaatan dan ibadah kita
kepada Allah. Ibadah bukan dipandang sebagai sebuah kewajiban, tapi dianggap
sebagai bentuk dan wujud penghambaan kepada Tuhan yang telah menganugerahkan
begitu banyak nikmat kepada kita.
Dalam beribadah
mungkin terbesit dalam hati karena mengharapkan sesuatu, bahkan motivasi utama
dalam beribadah agar masuk surga dan dijauhkan dari neraka mungkin pada tataran
biasa dapat dimaklumi. Akan tetapi ketika sudah bertasawuf kita harus sedikit
demi sedikit mengikis itu karena tujuan ibadah kita adalah untuk meraih
keridhaan Allah.
Tasawuf seperti
halnya seorang dokter yang mendeteksi penyakit seseorang. Kemudian sang dokter
itu mendiagnosa apa sebab-sebabnya, dan kemudian memberikan resep obat. Begitu
juga tasawuf yang bukan hanya diam dan tidak memberikan solusi dalam setiap
permasalahan yang dialami oleh manusia.
Ternyata semua
manusia memiliki potensi dan bekal yang sama. Walau pada tingkatan rohaninya
berbeda-beda akan tetapi hal tersebut tidak lantas menegasikan pengaktualan
diri manusia itu sendiri. Misalnya saja Nabi yang merupakan predikat yang Allah
berikan khusus, tidak lantas membuat manusia tidak bisa menempati atau bahkan
melampaui posisi tersebut.
Manusia jika
mampu mengaktualkan segala potensi yang ada dalam dirinya dengan tunduk dan
oatuh kepada Tuhan maka pancaran sinar Tuhan itu akan masuk pada orang
tersebut. Proses penyucian diri pun tidak dapat dilepaskan dari tujuan ini.
Oleh karena
itu, ketika mempelajari maqam-maqam dalam tasawuf, saya menjadi mengerti
bahwasannya maqam-maqam itu dapat diperoleh dan diaktualkan oleh setiap manusia
asal mereka mau melakukan proses itu sendiri.
Maqam-maqam
dalam tasawuf dalam pengertian saya adalah tangga-tangga atau posisi yang harus
dilalui oleh seorang manusia untuk mencapai tingkat yang paling tinggi dalam
rangka mendekati Tuhan. Setiap perjalanan itu tentu saja tidaklah mudah.
Diperlukan latihan dan waktu yang lama untuk menyelesaikan setiap tingkatannya.
Ketika manusia
sudah mampu mencapai maqam tertinggi, bahkan ia dapat melaupaui maqam malaikat
dan para Nabi. Sehingga ia menjadi manifestasi Tuhan yang sesungguhnya. Ini
merupakan sebuah anugerah terindah dalam hidup jika kita dapat melakukannya.
Penyingkapan
tabir-tabir kepalsuan dunia yang fana ini yang selama ini menghalangi pandangan
manusia kepada Tuhan. Tasawuf bukan hanya memberi tahu, tapi dia juga
menawarkan solusi dan jawaban atas permasalahan itu.
Keadaan semua
di dunia ini ternyata hanyalah sebuah ke fanaan yang palsu dan tidak hakiki.
Sehingga banyak manusia yang dengan mudah terpedaya oleh tipuan itu. Bukan
hanya terpedaya bahkan sebagai manusia tidak bisa terlepas dari jeratan
fatamorgana dunia. Sehingga dia menikmati betul dunia itu yang pada hakikatnya
justru menyengsarakan dia.
Dunia memang
kadang mampu menghipnotis manusia melalui kemegahan dunia itu sendiri baik
dalam bentuk harta, pangkat, wanita, dan sebagainya. Hal-hal tersebut mampu
melupakan manusia kepada Tuhannya. Sehingga sesuatu yang tidak kekal itu ketika
di akhir kehidupan manusia barulah ia akan menyesal dan sadar.
Tasawuf
memperhatikan betul permasalahan itu. Sehingga sedikit demi sedikit rasa
kecintaan terhadap dunia itu perlu dikontrol. Hidup dengan tasawuf bukan
berarti harus miskin. Tidak harus memakai pakaian kumel, kotor, menyendiri, dan
hidup ala kadarnya. Fenomena itu yang membuat tasawuf tidak banyak diminati bahkan
manusia menjadi alergi ketika mendengar kata tasawuf. Tetapi yang justru
ditekankan oleh Tasawuf adalah aspek ruhaninya.
Tasawuf
memahami betul kadar kemampuan setiap manusia. Oleh karena itu dalam proses
pembersihan hati dari sifat tercela dan cinta terhadap dunia memang harus
melalui tahapan yang dilalui dengan baik. Karena tidak mungkin dengan serta
merta manusia mampu melakukan berbagai tahapan itu.
Pembersihan
diri itu dapat dilakukan dengan mengolah diri dengan berpuasa, melakukan ibadah
dengan baik dan masih banyak lagi. Yang terpenting dari semua itu adalah adanya
niatan kita untuk memperbaiki diri.
Sehingga jika
dahulu fenomena sufi itu selalu diidentikan dengan para pengembara yang
menggunakan pakaian compang-camping, maka di zaman modern ini seorang sufi bisa
saja adalah orang kaya yang memiliki harta berlimpah, mobil mewah, dan pakaian
yang bermerek.
Belajar tasawuf
juga tidak lantas membuat kita harus masuk ke dalam sebuah kelompok tarekat
tertentu. Tarekat hanyalah sebuah institusi penyucian jiwa. Akan tetapi jika
manusia tidak bertarekat bisa saja cukup melakukan penyucian jiwa.
Karena di zaman
sekarang sebagian dari tarekat itu justru menjadi lembaga formal yang mengikat
diri seorang manusia. Berbagai aturan penghormatan antara guru dan murid begitu
ditekankan. Sehingga murid dilarang mengkritisi tindakan gurunya jika salah.
Itulah menurut
saya satu sisi yang tidak tepat. Bertarekat adalah proses penyucian jiwa, jadi
yang justru harus ditekankan bukan hubungan guru dan murid, akan tetapi bagaimana
proses penyucian itu bisa berjalan dengan baik. Sehingga berhasil mencetak
manusia-manusia yang suci.
Semua manusia
bertolak pada satu jalan menuju Tuhan. Akan tetapi jalan yang mereka gunakan
atau lalui itu berbeda-beda. Akan tetapi titik kesamaannya adalah kita tahu
bahwa tidak mungkin Tuhan itu sesulit yang kita bayangkan. Dia hanya memberikan
satu jalan dan menyalahkan orang yang melewati jalan lain. Dengan belajar
tasawuf pemikiran saya menjadi semakin terbuka.
Kini saya
mengerti apa makna perbedaan. Tasawuf menjernihkan hati kita sehingga dengannya
kita tidak dengan mudah menyalahkan orang lain yang berbeda dengan kita. Kita akan mengetahui bahwa hakikat manusia
itu sama, walau pun berbeda agama, akan tetapi itu tidak lantas membuat proses
penyucian diri dan penghambaan mereka terhadap Tuhan tidak bernilai dan kosong
begitu saja.
Ternyata
tasawuf tidak hanya berbicara tentang persoalan akhlak saja, akan tetapi
nilai-nilai tasawuf dapat kita tarik dan kembangkan pada aspek kehidupan
lainnya, seperti dalam hubungan bermasyarakat dan lain-lain.
Sejak kecil
saya memang sangat senang dengar cerita-cerita mistis, keramat, dan kejadian
luar biasa yang dilakukan oleh para Wali. Cerita-cerita itu bukan hanya membuat
diri saya takjub, tapi juga membuat saya semakin mengagumi dan menghormati
tokok-tokoh yang diceritakan dalam setiap cerita itu. Mereka digambarkan bisa
terbang, menghilang, sholat jumar di Mekkah, menundukkan binatang buas, dapat
mengeluarkan makanan dari bumi dan masih banyak kisah-kisah keramat para Wali
itu.
Bahkan
kemudian, ketika sosok ulama yang mengatakan bahwa dirinya memiliki karomah
atau keramat yang dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya, saya langsung percaya
saja tanpa pernah sadar apakah benar karomah itu benar terjadi atau tidak.
Tapi ketika
sudah mengetahui dan mendalami ilmu tasawuf, ternyata sikap kritis itu akhirnya
dapat muncul. Dalam tasawuf kita bukan hanya diajarkan tentang cerita-cerita
perjalanan spritiual seorang sufi yang menakjubkan, tapi juga diajarkan untuk
mengkritisi cerita-cerita itu.
Kita tidak
dibenarkan bertaqlid buta pada cerita-cerita itu. Bisa saja cerita-cerita itu
tidak rasional, bahkan menyesatkan masyarakat awam. Atau bisa jadi orang yang
ingin dihormati oleh masyarakat tiba-tiba mengarang cerita-cerita menakjubkan
agar terkesan dirinya merupakan seorang Wali.
Kekeramatan
seseorang bukanlah tolak ukur ia menjadi wali atau tidak. Akan tetapi
seharusnya akhlak dan ibadahnyalah yang menjadi tolak ukur. Jika orang itu
tidak rajin beribadah tetapi memiliki kekeramatan, perlu dipertanyaan dari mana
orang itu memperolehnya.
Jika hal yang
luar biasa dijadikan sebagai acuan, maka bisa saja seorang pesulap kita anggap
sebagai seorang wali karena ia mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat
dilakukan oleh orang lain, berupa hal-hal yang mampu membuat manusia takjub dan
terheran-heran.
Ternyata saya
dapat mengetahui bahwa banyak sufi yang ketika mengalami proses kasyaf, dirinya
kesulitan untuk membahasakan pengalaman mereka itu kepada masyarakat biasa. Bahkan dalam pengungkapan itu berbagai kaidah
bahasa dan logika tidak berlaku. Kalau dalam bahasa gaulnya mungkin asal
ceplos. Sehingga terkadang ungkapan-ungkapan itu menyesatkan masyarakat awam,
dan membuat orang yang mengucapkan ungkapan itu dituduh sebagai orang yang
kafir atau murtad oleh ulama atau penguasa setempat.
Sensasi
mempelajari tasawuf seperti halnya kita membuka cakrawala kehidupan inii.
Sehingga seakan-akan kita sedang membuka jendela dunia yang sesungguhnya. Pribadi
yang lebih terbuka dan menyikapi segala persolan dengan bijak tanpa menyalahkan
yang lain.
Belajar Tasawuf
membuat mata saya semakin terbuka, dapat berpikir lebih jernih lagi. Karena
pada dasarnya semua agama juga mempunyai ciri khas tasawuf sendiri sebagai
landasan jalan menuju Tuhan. Jika membicarakan tasawuf dengan agama-agama lain
maka akan nyambung.
Karena aspek
kajian tasawuf bukan hanya untuk agama Islam saja.. Tetapi nilai-nilai
ajarannya dapat berlaku untuk semua agama. Dengan belajar tasawuf diusahakan
kita menjadi orang yang moderat dan penuh tolernasi tinggi terhadap sesama.
Berbuat baik
terhadap sesama dengan baik, berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan
sebagaimana biasanya. Di sisi lain, aspek spiritualitas perlu ditingkatkan
dengan peningkatan ibadah dengan baik. Menjadi manusia yang baik, dari sisi
dzahir mau pun bathin.
Tasawuf
layaknya sebuah ilmu pasti ada pro dan ada juga yang kontra. Walau pun ada
sekelompok orang yang tidak setuju dengan tasawuf bahkan melarangnya, tapi itu
bukanlah sebuah masalah besar. Mungkin bagi mereka tasawuf tudak begitu penting
untuk dipelajari. Akan tetapi bagi saya ketik sudah mempelajari tasawuf merasa
perlu dan harus dikaji secara mendalam.
Karena tasawuf
memperhatikan betul segala bentuk aspek kehidupan manusia mulai dari lahir
sampai kematian. Tindakan spiritual dan hubungan manusia dengan Tuhan bahkan mendapatkan
porsi yang begitu banyak.
Setelah itu
yang mendapat porsi kedua adalah diri manusia itu sendiri, bagaimana manusia
mampu menjadikan diri yang baik. Segala bentuk perbuatan kotor jangan sampai
masuk ke dalam diri kita. Diri kita seharusnya dihiasi oleh perbuatan yang baik
dan terpuji.
Selanjutnya
adalah hubungan pribadi dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Pada tahap
ini tasawuf mengajarkan sikap yang harus dimiliki dalam bergaul dengan sesame.
Hidup harus saling menghargai termasuk menjaga lingkungan dan alam ini.
Mempelajari sesuatu memang tidak
secepat kilat. Butuh proses yang panjang. Jika tahapan itu dilalui dengan baik,
maka hasilnya akan sangat memuaskan. Belajar tasawuf nnembuat saya senang dan
menjadi ketagihan untuk semakin mendalaminya lebih jauh lagi. Agar segala
potensi yang ada dapat teraktualisasikan dengan baik.
Itulah beberapa pandangan,
pembelajaran, dan kesan-kesan bahkan pengalaman yang saya dapatkan selama
mempelajari tasawuf mulai dari tasawuf dasar hingga tasawuf falsafi. Tidak kata
yang cukup untuk mengungkapkan pengalaman itu. Ibarat sathahatnya para sufi,
saya kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan kesan-kesan saya ini.
Semoga
dengan mempelajari tasawuf bukan hanya berlalu begitu saja, akan tetapi dapat
meresap ke dalam sendi-sendiri jiwa. Menjadi pribadi yang paripurna dan menjadi
manusia yang sempurna. Di mana setiap saat hatinya selalu terpaut dengan Tuhan.
Bahkan sinar Tuhan telah masuk dan menyatu dengan diri kita. Tidak ada kata
tuntas atau tutup buku dalam mempelajari sesuatu. Semakin kita mengetahui
sesuatu, semakin kita akan ketagihan.
Komentar
Posting Komentar