Langsung ke konten utama

Saya Senang Belajar Tasawuf


Manusia memang sangat aneh. Ketika ia terlahir ke dunia ia akhirnya memperoleh kedudukan dan lain sebagainya. Kemudian tanpa halangan ia berjalan dengan melenggang bagai pemilik dunia ini.
Pencarian manusia akan hakikat siapa dirinya tidak pernah berhenti. Bahkan ia terus mencari siapa Tuhannya yang patut ia patuhi. Kegundahan hati manusia itu terkadang tertutupi oleh ego semata yang membuat ia lupa tentang perbuatan itu.

Mungkin dahulu pernah terbesit di benak saya ketika mendengar kata “Tasawuf” pasti itu adalah akhlak atau pembersihan diri. Dan Tasawuf pada akhirnya identik dengan thariqah-thariqah yang diamalkan oleh sebagian orang. Mempelajari tasawuf hanya akan menghabiskan umur dan membuang waktu saja.
Karena walau pun kita mempelajari penyucian diri akan tetapi pada tataran praktisnya nol besar, atau sebaliknya. Untuk apa belajar tasawuf jika tidak direalisasikan dalam perbuatan. Belajar Tasawuf sudah seharusnya sembari mengamalkan thariqah.
Tasawuf selalu saja diidentikan dengan orang-orang yang kumuh, miskin, menyendiri, dan tidak bersosial atau berbaur dengan masyarakat lain. Tidak ada yang eklusif atau yang mampu menarik kita untuk mempelajarinya, untuk mengenalnya saja kita masih perlu berpikir dua kali.
Kenapa harus belajar Tasawuf?
Kalau sudah belajar lalu manfaatnya apa untuk diri kita?
Memangnya tasawuf itu penting?
Memangnya diri kita sudah siap lahir batin untuk mempelajari Tasawuf yang kuno itu?
Jika sudah bertasawuf, lalu apa yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari?
Itulah beberapa pertanyaan yang hinggap dan selalu berputar-putar di kepala ini. Karena stigma itulah ketika saya ingin mempelajari tasawuf, ada kegundahan yang terpikirkan yaitu “Jika saya belajar tasawuf berarti saya harus menjadi sufi dan bertarekat”. Akan tetapi stigma itu pada kenyataannya seiring dengan berjalannya waktu hilang ketika belajar tasawuf secara mendalam.
Sebagai seorang insan yang membutuhkan pada wawasan yang mendalam berupa siraman rohani mau pun pengetahuan, rasanya memang perlu mempelajari tasawuf. Tasawuf mengajarkan kepada saya beberapa aspek nilai-nilai yang begitu penting yang dapat berguna untuk kehidupan sehari-hari.
Sebagai manusia kita mungkin akan bertanya, siapakah diri kita ini? apa tujuan kita diciptakan? bagaimana cara kita hidup? kepada siapa kita menyembah? bagaimana garis kehidupan kita? apakah kita termasuk orang yang beruntung atau juru celaka? pada titik mana kita akan mencapai tujuan kehidupan?
Beberapa pertanyaan itu mungkin saja sepele dan tidak bermakna. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan itu merupakan hasil perenungan yang sepantasnya menjadi poin penting yang haus akan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan bentuk kegundahan manusia yang ingin mengetahui hakikat kehidupan.
Hubungan manusia yang didasari oleh dua aspek yaitu garis vertikal dan horizontal atau disebut juga hubungan habl min Allah dan habl min an-Nas. Posisi manusia yang merupakan seorang hamba yang mengabdikan dirinya kepada Dzat yang ia cintai dan ia patuhi.
Kedua posisi itu tidak dapat dipisahkan. Manusia yang baik adalah orang yang mampu menyeimbangkan antara hubungan dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Beribadah dengan giat akan tetapi menyampingkan hubungan sosial dengan manusia, maka rasanya akan dikucilkan oleh masyarakat. Jika hanya fokus pada hubungan baik dengan sesame manusia, maka bisa jadi kita tidak mengaktualkan status kita sebagai seorang hambanya Tuhan.
Berbagai atribut penghambaan manusia gunakan dalam rangka bukti ketundukannya kepada Tuhan. Bahkan jalan-jalan untuk mengenal, mendekat, dan bertemu dengan Tuhan, manusia lalu dengan berbagai macam cara.

Tuhan sebagai pencipta alam semesta yang begitu luas dan tidak terhingga sudah sepantasnya memang dipatuhi oleh manusia. Ketundukan terhadap apa saja yang Tuhan perintahkan akan dilaksanakan tanpa bantahan. Meski pun berat, tidak ada kata mengeluh dalam melaksanaka perintah itu.
Tunduk bukan hanya sekedar tunduk dan patuh belaka. Tetapi di sini ketundukkan kita kepada Tuhan harus mendahulukan Tuhan dari yang lainnya. Tidak mendua maksudnya. Pada posisi ini kita menundukan ego kita dengan kepentingan Tuhan.
Karena setiap manusia mengemban beban yang sama yaitu sebagai hamba Tuhan. Hamba haruslah patuh pada tuannya. Tuhan memang berbeda dengan sebutan tuan untuk makhluk. Jika tuan makhluk bisa saja ia memerintahkan sesuatu yang buruk bagi hambanya, bahkan dapat melukai hamba itu.
Tetapi, Tuhan tidaklah seperti itu. Dia tentu tahu betul bagaimana kondisi hamba-Nya. Karena bagaimana pun Dia sendiri yang menciptakan hamba tersebut. Jadi tidak mungkin Tuhan akan memerintahkan suatu hal yang berdampak buruk bagi manusia. Itu tentu bertentangan dengan kedudukan Tuhan itu sendiri.
Manusia memang lengah dan dapat dengan mudah terkena bujuk dan rayuan. Sehingga banyak perbuatan dosa dan maksiat yang dia lakukan. Tanpa disadari, ternyata dosa dan maksiat itu menghalangi hubungan kita dengan Tuhan.
Sehingga, pandangan ruhani kita tidak mampu untuk melihat Tuhan. Bahkan untuk menfapatkan pancaran sinar Tuhan sendiri menjadi sulit. Itu semua dikarenakan diri kita telah tertutupi oleh noda yang sangat tebal. Sehingga sulit bagi cahaya itu masuk ke dalamnya.
Contohnya saja seperti sebuah gelas yang berisikan noda hitam yang pekat, ketika gelas itu disoroti oleh cahaya maka tidak akan tembus cahaya itu. Katena isi gelas itu sudah sangat hitam dan menghalangi pancara cahaya untuk menembusnya.
Tasawuf menurut saya mengajarkan pada dua aspek kehidupan. Yaitu kehidupan secara vertikal maupun horizontal (habl min Allah dan habl min an-Nas). Dengan begitu saya dapat memahami aspek terpenting dalam penghambaan kepada Tuhan. Penyingkapan Kebesarannya begitu terasa. Proses penyucian hati, perjalanan ruhani, dan bentuk penghambaan.
Di sisi lain, manusia diciptakan tidak sendiri. Dia terlahir ke Dunia ini untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Oleh karena itu setiap individu harus mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Manusia memang makhluk mulia, pantas saja para malaikat tunduk dan menghormati Adam kala itu di surga. Karena manusia memiliki akal dan nafsu di mana kedua unsur tersebut menyatu dan harus diporsikan sesuai dengan tempatnya masing-masing. Khususnya nafsu yang terkadang justru mengotori diri manusia. Nafsu ibarat harimau yang jika sudah mengamuk maka kehancuran yang akan didapat.
Hawa nafsu harus dikendalikan oleh akal, bukan akal yang dikendalikan oleh hawa nafsu. Karena jika hawa nafsu mengendalikan akal, maka yang terjadi adalah tindakan atau perbuatan yang lebih condong pada nafsu meski pun bertentangan dengan akal manusia.
Sebab itu, manusia harus mampu mengontrol emosi dan hawa nafsunya. Jika salah menempatkan, atau tidak mampu mengendalikannya maka bisa jadi hidup kita menjadi tidak terkontrol dan tidak terarah.
Apakah tasawuf mengajarkan kita tentang penyakit hati? hanya sekedar memberitahu atau justru memberikan tawaran solusi terhadapnya. Itu yang mungkin akan kita tanyakan jika sudah masuk ke dalam ranah tasawuf.
Dengan belajar Tasawuf selain mengetahui nama-nama penyakit hati. Saya juga dapat mengetahui bagaimana proses penyucian dan penyembuhan penyakit hati. Penyakit itu antara lain riya, dengki, sombong, pemarah, pelit, adu domba, dan masih banyak lagi. Sedangkan nama sifat-sifat yang baik adalah sabar., ikhlas, dermawan, penyayang, lemah lembut, dan lain-lain.
Tasawuf mengajarkan kepada saya bagaimana proses penyucian dan pembersihan itu. Bahkan Tasawuf memberikan kita informasi mana sifat-sifat yang baik dan mana yang tercela. dengan begitu kita dapat memilah dan menyeleksi diri dengan intropeksi apakah yang ada dalam diri kita adalah sifat terpuji atau justru malah sebaliknya.
Karena tidak sebatas mengetahui sifat-sifat negatif yang harus dibersihkan dari diri kita, manusia juga harus mengetahui cara-cara agar terhindar dari penyakit hati. Jika di dalam diri kita yang ada adalah sifat-sifat baik, maka kita diajarkan untuk mengoptimalisasikannya. Akan tetapi jika di dalamnya berisi sifat negatif, maka tasawuf mengajarkan cara pembersihannya. Kemudian juga diajarkan bagaimana mengisi diri yang telah dibersihkan itu dengan sifat-sifat yang baik.
Dalam beribadah, tasawuf juga sangat memperhatikan manusia. Bahwa proses mengenal diri adalah langkah awal untuk mengenal Tuhan. Sehingga dalam beribadah kita harus mengenal dulu siapa kita ini. Barulah kemudian kita akan mengenal siapa pencipta manusia. Dari memahami diri ini, manusia akan memahami hakikat Tuhan.
Manusia sebagai makhluk yang lemah, hina dan banyak melakukan kesalahan, pada dasarnya sadar betul akan posisinya itu. Sehingga dalam setiap munajatnya manusia selalu memohon perlindungan kepada sesuatu yang dianggap lebih besar, lebih berkuasa dari manusia.
Banyak manusia yang melakukan ibadah. Akan tetapi rasa malas dan lain-lain selalu menyelimuti setiap diri kita. Ibadah pun dilakukan karena terpaksa. Sehingga ketika menjalankan sebuah ibadah keluh kesah justru yang didapat
Ibadah bukan hanya sekedar gerakan dan komat kami saja. Setiap gerakan merupakan cerminan dari pengabdian diri kita. Bahkan ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an sudah seharusnya dipahami maksud dan maknanya. Kemudian diresapi oleh diri kita.
Beribadah haruslah dengan tulus dan tidak ada unsur riya terhadap manusia lainnya. Ternyata ibadah bukanlah hanya berbentuk ritual-ritual keagamaan seperti sholat, puasa dan sebagainya. Akan tetapi ibadah ruhani juga termasuk, seperti ketundukan hati, dan selalu menyebut nama Tuhan dalam setiap tarikan nafas kita.
Banyak manusia yang lupa akan hal itu. Ibadah justru hanya dilakukan sebagai sebuah formalitas agama belaka. Setelah ibadah dilakukan, maka maksiat terus dilakukan. Ibadah yang dilakukan tidak merasuk ke dalam diri dan perbuatan orang itu sendiri.
Kita harus senantiasa mengingat Allah di mana pun kita berada. Nama Allah seakan mengalir bersama aliran darah kita menuju jantung. Bahkan setiap detak jantung kita selalu bertasbih kepada-Nya. Dalam hidup sudah sepantasnya manusia selalu mengingat Allah dalam segala hal dan kondisi bagaimana pun.
Baik itu dikala susah dan senang tidak mengurangi atau mempengaruhi ketaatan dan ibadah kita kepada Allah. Ibadah bukan dipandang sebagai sebuah kewajiban, tapi dianggap sebagai bentuk dan wujud penghambaan kepada Tuhan yang telah menganugerahkan begitu banyak nikmat kepada kita.
Dalam beribadah mungkin terbesit dalam hati karena mengharapkan sesuatu, bahkan motivasi utama dalam beribadah agar masuk surga dan dijauhkan dari neraka mungkin pada tataran biasa dapat dimaklumi. Akan tetapi ketika sudah bertasawuf kita harus sedikit demi sedikit mengikis itu karena tujuan ibadah kita adalah untuk meraih keridhaan Allah.
Tasawuf seperti halnya seorang dokter yang mendeteksi penyakit seseorang. Kemudian sang dokter itu mendiagnosa apa sebab-sebabnya, dan kemudian memberikan resep obat. Begitu juga tasawuf yang bukan hanya diam dan tidak memberikan solusi dalam setiap permasalahan yang dialami oleh manusia.
Ternyata semua manusia memiliki potensi dan bekal yang sama. Walau pada tingkatan rohaninya berbeda-beda akan tetapi hal tersebut tidak lantas menegasikan pengaktualan diri manusia itu sendiri. Misalnya saja Nabi yang merupakan predikat yang Allah berikan khusus, tidak lantas membuat manusia tidak bisa menempati atau bahkan melampaui posisi tersebut.
Manusia jika mampu mengaktualkan segala potensi yang ada dalam dirinya dengan tunduk dan oatuh kepada Tuhan maka pancaran sinar Tuhan itu akan masuk pada orang tersebut. Proses penyucian diri pun tidak dapat dilepaskan dari tujuan ini.
Oleh karena itu, ketika mempelajari maqam-maqam dalam tasawuf, saya menjadi mengerti bahwasannya maqam-maqam itu dapat diperoleh dan diaktualkan oleh setiap manusia asal mereka mau melakukan proses itu sendiri.
Maqam-maqam dalam tasawuf dalam pengertian saya adalah tangga-tangga atau posisi yang harus dilalui oleh seorang manusia untuk mencapai tingkat yang paling tinggi dalam rangka mendekati Tuhan. Setiap perjalanan itu tentu saja tidaklah mudah. Diperlukan latihan dan waktu yang lama untuk menyelesaikan setiap tingkatannya.
Ketika manusia sudah mampu mencapai maqam tertinggi, bahkan ia dapat melaupaui maqam malaikat dan para Nabi. Sehingga ia menjadi manifestasi Tuhan yang sesungguhnya. Ini merupakan sebuah anugerah terindah dalam hidup jika kita dapat melakukannya.
Penyingkapan tabir-tabir kepalsuan dunia yang fana ini yang selama ini menghalangi pandangan manusia kepada Tuhan. Tasawuf bukan hanya memberi tahu, tapi dia juga menawarkan solusi dan jawaban atas permasalahan itu.
Keadaan semua di dunia ini ternyata hanyalah sebuah ke fanaan yang palsu dan tidak hakiki. Sehingga banyak manusia yang dengan mudah terpedaya oleh tipuan itu. Bukan hanya terpedaya bahkan sebagai manusia tidak bisa terlepas dari jeratan fatamorgana dunia. Sehingga dia menikmati betul dunia itu yang pada hakikatnya justru menyengsarakan dia.
Dunia memang kadang mampu menghipnotis manusia melalui kemegahan dunia itu sendiri baik dalam bentuk harta, pangkat, wanita, dan sebagainya. Hal-hal tersebut mampu melupakan manusia kepada Tuhannya. Sehingga sesuatu yang tidak kekal itu ketika di akhir kehidupan manusia barulah ia akan menyesal dan sadar.
Tasawuf memperhatikan betul permasalahan itu. Sehingga sedikit demi sedikit rasa kecintaan terhadap dunia itu perlu dikontrol. Hidup dengan tasawuf bukan berarti harus miskin. Tidak harus memakai pakaian kumel, kotor, menyendiri, dan hidup ala kadarnya. Fenomena itu yang membuat tasawuf tidak banyak diminati bahkan manusia menjadi alergi ketika mendengar kata tasawuf. Tetapi yang justru ditekankan oleh Tasawuf adalah aspek ruhaninya.
Tasawuf memahami betul kadar kemampuan setiap manusia. Oleh karena itu dalam proses pembersihan hati dari sifat tercela dan cinta terhadap dunia memang harus melalui tahapan yang dilalui dengan baik. Karena tidak mungkin dengan serta merta manusia mampu melakukan berbagai tahapan itu.
Pembersihan diri itu dapat dilakukan dengan mengolah diri dengan berpuasa, melakukan ibadah dengan baik dan masih banyak lagi. Yang terpenting dari semua itu adalah adanya niatan kita untuk memperbaiki diri.
Sehingga jika dahulu fenomena sufi itu selalu diidentikan dengan para pengembara yang menggunakan pakaian compang-camping, maka di zaman modern ini seorang sufi bisa saja adalah orang kaya yang memiliki harta berlimpah, mobil mewah, dan pakaian yang bermerek.
Belajar tasawuf juga tidak lantas membuat kita harus masuk ke dalam sebuah kelompok tarekat tertentu. Tarekat hanyalah sebuah institusi penyucian jiwa. Akan tetapi jika manusia tidak bertarekat bisa saja cukup melakukan penyucian jiwa.
Karena di zaman sekarang sebagian dari tarekat itu justru menjadi lembaga formal yang mengikat diri seorang manusia. Berbagai aturan penghormatan antara guru dan murid begitu ditekankan. Sehingga murid dilarang mengkritisi tindakan gurunya jika salah.
Itulah menurut saya satu sisi yang tidak tepat. Bertarekat adalah proses penyucian jiwa, jadi yang justru harus ditekankan bukan hubungan guru dan murid, akan tetapi bagaimana proses penyucian itu bisa berjalan dengan baik. Sehingga berhasil mencetak manusia-manusia yang suci.
Semua manusia bertolak pada satu jalan menuju Tuhan. Akan tetapi jalan yang mereka gunakan atau lalui itu berbeda-beda. Akan tetapi titik kesamaannya adalah kita tahu bahwa tidak mungkin Tuhan itu sesulit yang kita bayangkan. Dia hanya memberikan satu jalan dan menyalahkan orang yang melewati jalan lain. Dengan belajar tasawuf pemikiran saya menjadi semakin terbuka.
Kini saya mengerti apa makna perbedaan. Tasawuf menjernihkan hati kita sehingga dengannya kita tidak dengan mudah menyalahkan orang lain yang berbeda dengan kita.  Kita akan mengetahui bahwa hakikat manusia itu sama, walau pun berbeda agama, akan tetapi itu tidak lantas membuat proses penyucian diri dan penghambaan mereka terhadap Tuhan tidak bernilai dan kosong begitu saja.
Ternyata tasawuf tidak hanya berbicara tentang persoalan akhlak saja, akan tetapi nilai-nilai tasawuf dapat kita tarik dan kembangkan pada aspek kehidupan lainnya, seperti dalam hubungan bermasyarakat dan lain-lain.
Sejak kecil saya memang sangat senang dengar cerita-cerita mistis, keramat, dan kejadian luar biasa yang dilakukan oleh para Wali. Cerita-cerita itu bukan hanya membuat diri saya takjub, tapi juga membuat saya semakin mengagumi dan menghormati tokok-tokoh yang diceritakan dalam setiap cerita itu. Mereka digambarkan bisa terbang, menghilang, sholat jumar di Mekkah, menundukkan binatang buas, dapat mengeluarkan makanan dari bumi dan masih banyak kisah-kisah keramat para Wali itu.
Bahkan kemudian, ketika sosok ulama yang mengatakan bahwa dirinya memiliki karomah atau keramat yang dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya, saya langsung percaya saja tanpa pernah sadar apakah benar karomah itu benar terjadi atau tidak.
Tapi ketika sudah mengetahui dan mendalami ilmu tasawuf, ternyata sikap kritis itu akhirnya dapat muncul. Dalam tasawuf kita bukan hanya diajarkan tentang cerita-cerita perjalanan spritiual seorang sufi yang menakjubkan, tapi juga diajarkan untuk mengkritisi cerita-cerita itu.
Kita tidak dibenarkan bertaqlid buta pada cerita-cerita itu. Bisa saja cerita-cerita itu tidak rasional, bahkan menyesatkan masyarakat awam. Atau bisa jadi orang yang ingin dihormati oleh masyarakat tiba-tiba mengarang cerita-cerita menakjubkan agar terkesan dirinya merupakan seorang Wali.
Kekeramatan seseorang bukanlah tolak ukur ia menjadi wali atau tidak. Akan tetapi seharusnya akhlak dan ibadahnyalah yang menjadi tolak ukur. Jika orang itu tidak rajin beribadah tetapi memiliki kekeramatan, perlu dipertanyaan dari mana orang itu memperolehnya.
Jika hal yang luar biasa dijadikan sebagai acuan, maka bisa saja seorang pesulap kita anggap sebagai seorang wali karena ia mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain, berupa hal-hal yang mampu membuat manusia takjub dan terheran-heran.
Ternyata saya dapat mengetahui bahwa banyak sufi yang ketika mengalami proses kasyaf, dirinya kesulitan untuk membahasakan pengalaman mereka itu kepada masyarakat biasa.  Bahkan dalam pengungkapan itu berbagai kaidah bahasa dan logika tidak berlaku. Kalau dalam bahasa gaulnya mungkin asal ceplos. Sehingga terkadang ungkapan-ungkapan itu menyesatkan masyarakat awam, dan membuat orang yang mengucapkan ungkapan itu dituduh sebagai orang yang kafir atau murtad oleh ulama atau penguasa setempat.
Sensasi mempelajari tasawuf seperti halnya kita membuka cakrawala kehidupan inii. Sehingga seakan-akan kita sedang membuka jendela dunia yang sesungguhnya. Pribadi yang lebih terbuka dan menyikapi segala persolan dengan bijak tanpa menyalahkan yang lain.
Belajar Tasawuf membuat mata saya semakin terbuka, dapat berpikir lebih jernih lagi. Karena pada dasarnya semua agama juga mempunyai ciri khas tasawuf sendiri sebagai landasan jalan menuju Tuhan. Jika membicarakan tasawuf dengan agama-agama lain maka akan nyambung.
Karena aspek kajian tasawuf bukan hanya untuk agama Islam saja.. Tetapi nilai-nilai ajarannya dapat berlaku untuk semua agama. Dengan belajar tasawuf diusahakan kita menjadi orang yang moderat dan penuh tolernasi tinggi terhadap sesama.
Berbuat baik terhadap sesama dengan baik, berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan sebagaimana biasanya. Di sisi lain, aspek spiritualitas perlu ditingkatkan dengan peningkatan ibadah dengan baik. Menjadi manusia yang baik, dari sisi dzahir mau pun bathin.
Tasawuf layaknya sebuah ilmu pasti ada pro dan ada juga yang kontra. Walau pun ada sekelompok orang yang tidak setuju dengan tasawuf bahkan melarangnya, tapi itu bukanlah sebuah masalah besar. Mungkin bagi mereka tasawuf tudak begitu penting untuk dipelajari. Akan tetapi bagi saya ketik sudah mempelajari tasawuf merasa perlu dan harus dikaji secara mendalam.
Karena tasawuf memperhatikan betul segala bentuk aspek kehidupan manusia mulai dari lahir sampai kematian. Tindakan spiritual dan hubungan manusia dengan Tuhan bahkan mendapatkan porsi yang begitu banyak.
Setelah itu yang mendapat porsi kedua adalah diri manusia itu sendiri, bagaimana manusia mampu menjadikan diri yang baik. Segala bentuk perbuatan kotor jangan sampai masuk ke dalam diri kita. Diri kita seharusnya dihiasi oleh perbuatan yang baik dan terpuji.
Selanjutnya adalah hubungan pribadi dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Pada tahap ini tasawuf mengajarkan sikap yang harus dimiliki dalam bergaul dengan sesame. Hidup harus saling menghargai termasuk menjaga lingkungan dan alam ini.
Mempelajari sesuatu memang tidak secepat kilat. Butuh proses yang panjang. Jika tahapan itu dilalui dengan baik, maka hasilnya akan sangat memuaskan. Belajar tasawuf nnembuat saya senang dan menjadi ketagihan untuk semakin mendalaminya lebih jauh lagi. Agar segala potensi yang ada dapat teraktualisasikan dengan baik.
Itulah beberapa pandangan, pembelajaran, dan kesan-kesan bahkan pengalaman yang saya dapatkan selama mempelajari tasawuf mulai dari tasawuf dasar hingga tasawuf falsafi. Tidak kata yang cukup untuk mengungkapkan pengalaman itu. Ibarat sathahatnya para sufi, saya kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan kesan-kesan saya ini.
Semoga dengan mempelajari tasawuf bukan hanya berlalu begitu saja, akan tetapi dapat meresap ke dalam sendi-sendiri jiwa. Menjadi pribadi yang paripurna dan menjadi manusia yang sempurna. Di mana setiap saat hatinya selalu terpaut dengan Tuhan. Bahkan sinar Tuhan telah masuk dan menyatu dengan diri kita. Tidak ada kata tuntas atau tutup buku dalam mempelajari sesuatu. Semakin kita mengetahui sesuatu, semakin kita akan ketagihan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hernowo Hasim : Berkarya dan Tak Kenal Lelah

Sosok Hernowo memang sudah tidak asing dalam dunia penerbitan. Hingga membuat saya merasa senang dan beruntung bisa di bimbing oleh beliau   walau   hanya baru   beberapa   hari.   Sosoknya yang ramah dan jika berbicara sangat asyik di dengar hingga kami   merasa dibukakan   wawasan   lebih   jauh   saat mendapat   pelajaran darinya. Cara belajarnya sungguh mengasyikan   dan   bersahabat.

Resensi Buku Tafsir Sufi Al-Fatihah: Kandungan Sufistik Surat Al-Fatihah Menurut Jalaluddin Rakhmat

Judul Buku      : Tafsir Sufi al-Fatihah Penulis              : Jalaluddin Rakhmat Penerbit            : Penerbit Mizan Tahun terbit     :   20 12 Jenis buku        : Non-Fiksi (Agama Islam) Tebal                : 2 44 Halama n Harga               : Rp. 35.000 Jalaludin Rakhmat adalah seorang Cendikiawan Muslim yang terkenal aktif dalam menyuarakan suara-suara pembaruan bersama Alm. Nurkholis Madjid. Kang Jalal biasa ia disapa merupakan penulis yang produktif. Buku yang penulis bahas kali ini merupakan buku yang sebelumnya pernah diterbitkan oleh PT Remaja Rosdakarya dengan judul "Tafsir Sufi Al-Fatihah M...